Wednesday, December 26, 2007

HS intermezzo 1

Harry Potter Vs Homeschool

Tentu tidak semua dari kita mengijinkan anak-anak membaca/menonton Harry Potter dengan berbagai alasan, tetapi ada hal menarik diucapkan oleh J. K. Rowling, pengarang Harry Potter, sewaktu menjawab pertanyaan majalah TIME setelah dia terpilih sebagai orang kedua, setelah Vladimir Putin, sebagai "Person of the Year 2007' versi majalah TIME.

Cuplikan:
Pertanyaan ke enam:
6. Where do wizard children go to school before Hogwarts?
Most are homeschooled, because they aren't really able to control their powers so it would be too dangerous to let them out and about.
(selengkapnya: http://www.time.com/time/specials/2007/personoftheyear/article/1,28804,1690753_1695388_1695569,00.html )

Hmmm....???

Budget HS 5

"Seberapa sering HSer bisa melakukan field trip?" Bisa jadi setiap hari.
"Seberapa sering HSer belajar dengan pendekatan project/hands-on/real-life?" Bisa jadi setiap hari juga.
"Berapa biaya khusus yang dianggarkan untuk kebutuhan tersebut? pasti mahal?" Tidak lebih dari biaya hidup masing-masing keluarga yang dianggarkan setiap bulan.
"Bagaimana mungkin?" Karena dalam HS kita memiliki pilihan untuk mengintegrasikan kurikulum dalam kehidupan kita bukan sebaliknya.

Setiap hari kita hidup dalam suka maupun duka, dalam budget berlebih atau budget ketat, ada saja kesempatan belajar yang diberikan hidup kepada kita dan anak-anak kita. Kita hanya perlu melatih diri kita dan anak-anak kita untuk melihat setiap kesempatan ini, melihat segala sesuatu dengan cara berbeda.

"Kalau begitu bagaimana dengan kurikulum?" Apabila hari ini ada kesempatan belajar sesuatu yang seharusnya ada di kurikulum kelas 5 (atau tidak ada di kurikulum sama sekali) sedangkan anak masih di kelas 3, kenapa tidak? Ini homeschool.
"Jadi berarti HS murah/mahal?" Kita punya pilihan untuk menjalankan HS secara murah/mahal dalam hitungan nominal dan punya pilihan juga untuk menilai apa yang kita anggap murah/mahal tanpa tekanan dari siapapun.
"Jadi HS murah?" Yang jelas, Pencipta, melalui setiap hal yang berhubungan dengan kehidupan kita, sebenarnya telah memberikan banyak kemurahan-kemurahan. Keputusan ada di tangan kita.

Monday, December 24, 2007

Realita 6

Kita sering berpikir bahwa dengan mengirim anak ke sekolah 'bagus' semuanya akan beres. Jarang sekali kita berpikir bahwa pada prakteknya yang memegang kunci terlaksananya pendidikan yang 'bagus' versi sekolah tersebut ada di tangan guru dan sekolah yang 'bagus' sekalipun memiliki guru yang beraneka ragam yang menyebabkan kualitas sekolah tidak merata kelas per kelas, tahun per tahun.

Seorang ibu yang anaknya berada di kelas 2 SD bercerita bahwa waktu si anak (sebut saja Andi) masih duduk di kelas 1 SD segalanya berjalan mulus. Si anak mendapatkan guru yang baik hati, pintar, kreatif dan bijaksana tetapi sewaktu Andi naik di kelas 2, guru yang baru, selain tidak kreatif dan sering salah mengajar juga kerap berkata-kata kasar di kelas dan berlaku tidak sopan. "Mau diapakan lagi, itu namanya nasib. Beberapa orangtua sudah berusaha mengkomunikasikan ini kepada sekolah tetapi tidak ada tanggapan. Moga-moga tahun depan tidak dapat guru yang seperti itu lagi." ujar Ibu Andi.

Terkadang banyak hal di dunia ini yang menghalangi kita untuk maju, sebagian orang memilih untuk pasrah, sebagian lagi memilih untuk marah tetapi ada juga yang memilih untuk terus maju tidak perduli rintangan datang silih berganti.

Wednesday, December 19, 2007

Kehidupan Homeschooler: Second Life

Pagi itu Da Hye sarapan dengan terburu-buru. Nenek yang sudah beberapa hari ini berkunjung dari kampung (dan sepertinya resah mengenai homeschool) bertanya kenapa dia makan tergesa-gesa padahal hari masih pagi sekali.

“Da Hye ada kelas hari ini, nanti terlambat. Kelasnya seru sekali, kalau terlambat rugi.” Jawabnya. “lagian Da Hye sudah janji dengan teman . Kita mau duduk sama-sama.”

Da Hye bergegas menuju ke kamar dan menyalakan komputer. Saya tahu kelas yang dimaksud dia adalah kelas-kelas virtual di Second Life yang berapa bulan belakangan sangat menarik hatinya.

Nenek yang penasaran dan ‘on again off again’ mendukung homeschool membuntuti Da Hye ke kamar. Beberapa menit berselang, saya yang sedang sibuk di dapur dikejutkan oleh suara nenek.

“Anakmu itu lagi main game lho, nggak belajar. Coba lihat sana.”

“Oh iya, saya tahu, itu Second Life, bukan game tapi seperti dunia virtual.” Jawab saya

“Lha ngapain main begituan, katanya ada kelas.” Rupanya nenek semakin bingung saja.

Karena pekerjaan sudah selesai saya ajak beliau ke kamar Da Hye .

“ Hari ini kita belajar ‘hurricane’, professornya yang itu (sambil menunjuk avatar di layar komputer). Dia dari NOAA (maksudnya National Oceanic & Atmospheric Administration) sebentar lagi kita naik research aircraft. “ sahut Da Hye riang.

“ Itu teman Da Hye dari Swiss (sambil menujuk avatar di layar Komputer lagi)”

Nenek terdiam, hanya sedikit menggumam “belajarnya kok kaya mainan gitu, terus nanti ada ujiannya tidak?” Saya terdiam senyum-senyum sendiri.

Setelah kelas virtual selesai Da Hye dan beberapa teman virtualnya memutuskan bermain sebentar menjelajah kesana kemari sambil ngobrol (menggunakan voice chat) sambil sesekali lomba naik ‘scooter’. Sebelum berpisah mereka berjanji untuk bertemu di Van Gogh exhibit kapan kapan, rupanya ada satu anak yang bilang kalau di sana 'cool'.

Malam setelah kejadian itu, nenek masih saja terlihat penuh pikiran. Ada sebersit sindiran, mengingatkan bahwa tidak ada gunanya melakukan sesuatu yang tidak lazim. Ah, paham benar saya atas kekhawatiran beliau. Tetapi entah kenapa malam itu saya justru merasa damai. Selangkah demi selangkah Da Hye mulai menapakkan kakinya di dunia yang tidak sempurna ini seorang diri, berusaha belajar atas dorongan pribadi, dan ketika malam tiba, ibu hanyalah seorang ibu bukan maha guru. Mungkin tidak banyak orang yang tahu perasaan ini.

Yang ingin tahu tentang Second Life:

http://edition.cnn.com/2006/TECH/11/13/second.life.university/index.html

http://www.businessweek.com/technology/content/apr2007/tc20070416_129266.htm

http://www.usatoday.com/tech/gaming/2006-10-05-second-life-class_x.htm

http://thephoenix.com/article_ektid20561.aspx

http://cyber.law.harvard.edu/home/

http://education.guardian.co.uk/elearning/story/0,,2051195,00.html

http://www.usatoday.com/news/education/2007-08-01-second-life_N.htm

http://www.edutopia.org/school-second-life

http://student.bmj.com/issues/07/12/news/431.php

http://www.iddblog.org/?p=32

http://www.holymeatballs.org/



Friday, December 14, 2007

Lebih dari Sekedar Angka dan Medali

Matematika, fisika atau mata pelajaran apapun memiliki makna dan seharusnya kita tahu bahwa penentu keberhasilan di masing-masing bidang tersebut adalah lebih dari sekedar angka bagus dan medali.

Tahun 1869, seorang insinyur bernama John Roebling terinspirasi dengan ide untuk membuat jembatan yang menghubungkan New York dan Long Island. Meskipun demikian para ahli pembuat jembatan di seluruh dunia berpikir itu adalah ide gila yang tidak akan mungkin bisa dilakukan.

Meskipun mendapat banyak tentangan, Roebling tidak menyerah. Ia berhasil meyakinkan putranya untuk mencapai mimpi tersebut bersama-sama. Bekerja bersama-sama untuk pertama kalinya, ayah dan anak membangun konsep bagaimana jembatan tersebut dibangun dan bagaimana mengatasi kendala yang ada. Mereka mempekerjakan kru pilihan mereka dan mulai membangun jembatan tersebut.

Proyek tersebut bermula baik tetapi baru beberapa bulan berjalan, kecelakaan tragis di proyek merengut nyawa John Roebling. Beberapa waktu kemudian Washington terluka dan mengalami kerusakan otak sehingga dia tidak bisa berjalan, berbicara atau bahkan bergerak kecuali menggerakkan satu jarinya.

Setiap orang menghujat proyek tersebut dan menuntut untuk dihentikan. Meskipun menjadi cacat, sang putra Washington tidak patah semangat. Dengan hanya menggerakkan satu jarinya dia berusaha berkomunikasi dengan istrinya. Ia membuat kode komunikasi dengan sang istri hanya menggunakan satu jarinya.

Melalui komunikasi ini dia mengistruksikan sang istri untuk memanggil para insinyurnya. Dengan metode yang sama pula ia berkomunikasi dengan para insinyur ini sehingga proyek berjalan kembali.

Selama 13 tahun Washington hanya menggunakan satu jari ini untuk berkomunikasi dengan istrinya yang kemudian diteruskan kepada mereka yang bekerja pada proyek tersebut sampai akhirnya jembatan selesai dibangun. Sampai hari ini jembatan Brooklyn yang spektakuler berdiri gagah sebagai penghormatan tidak semata-mata terhadap kejeniusan pemikiran seseorang tetapi juga terhadap semangat seseorang yang tidak tergoyahkan, kegigihan melawan keterbatasan, kesetiaan para pekerja pada seseorang yang telah dianggap gila oleh dunia, kerja keras dan juga sebagai penghormatan terhadap cinta dan pengabdian seorang istri yang selama 13 tahun yang panjang dengan penuh kesabaran berusaha keras menterjemahkan setiap pemikiran sang suami dari satu jarinya.

Biaya Pendidikan

Ada yang menarik mengenai biaya pendidikan yang pernah di sampaikan oleh Bill Gates
yang pada waktu itu melakukan konferensi pers dalam rangka kegiatan Bill and
Melinda Gates foundation yang menkritisi buruknya 'public school' di Amerika
Serikat.

Seorang wartawan nyeletuk dengan pertanyaan "menurut anda, berapa biaya ideal
yang harus dikeluarkan supaya seorang anak bisa mendapatkan pendidikan
berkualitas?". Bill Gates tersenyum sambil berpikir, orang-orang tentunya ingin
tahu apa yang dikatakan self-made billionaire, orang terkaya sejagad ini.
Kemudian dia menjawab "dua kali 50 sen sehari, itu biaya untuk pulang pergi ke
perpustakaan."

Orang sekaliber Bill Gates sangat mengerti esensi pendidikan, tetapi seberapa
sering orang merendahkan/mematahkan semangat/menghina keluarga lain hanya karena
mereka tidak mampu membayar biaya pendidikan yang tinggi....not anymore.

Kamu Bukan koki

Kamu bukan koki. Jangan memasak.

Aku memang bukan seorang koki tetapi aku tahu apa yang anak-anakku butuhkan. Aku tahu apa yang mereka sukai dan suara mereka didengarkan karena mereka selalu terlibat dalam pemilihan dan penyiapan menu.

Kamu bukan koki. Jangan memasak.

Aku memang bukan seorang koki tetapi aku selalu ingin belajar memasak menu-menu baru, dengan bahan-bahan berbeda, dari orang-orang berbeda. Terkadang aku berhasil walaupun anak-anak tidak menyukainya, terkadang pula aku gagal tetapi anak-anak melahap habis makanan tersebut tanpa sisa.

Kamu bukan koki. Jangan memasak.

Aku memang bukan seorang koki tetapi aku ingin anak-anakku tahu apa arti makanan rumah, apa arti makan bersama dan betapa berharganya sebuah kebersamaan.

Kamu bukan koki. Jangan memasak.

Aku memang bukan seorang koki tetapi aku ingin anak-anakku tahu dan mencintai tradisi makanannya juga mempelajari dan menghargai segala jenis makanan dari seluruh dunia.

Kamu bukan koki. Jangan memasak.

Aku memang bukan seorang koki tetapi aku tahu bagaimana mengajar anak-anakku untuk bisa makan bersama bangsawan tetapi tetap ingat kepada mereka yang kelaparan.

Kamu bukan koki. Jangan memasak.

Aku memang bukan seorang koki tetapi aku tidak hanya memasak, aku mengajar anak-anakku untuk bisa menyiapkan masakannya sendiri supaya kelak ketika aku sudah tidak di sisi mereka, mereka tahu apa yang harus dilakukan.

Kamu bukan koki. Jangan memasak.

Aku memang bukan seorang koki tetapi kenapa aku harus takut memasak padahal aku tahu di saat-saat sulit sekalipun anak-anakku tidak pernah kehilangan rasa lapar dan sangat senang apabila dibebaskan untuk membuat makanannya sendiri.

Kamu bukan koki. Jangan memasak.

Aku memang bukan seorang koki. Aku seorang ibu yang memilih untuk memasak sendiri makanan untuk anak-anakku. Kenapa? Karena aku mencintai mereka dan mereka patut mendapatkannya.

Meredifinisi Guru

Siapa saja sebenarnya guru HSer?

  1. Pada waktu mereka membaca karya Albert Einstein atau Newton dan mereka mengerti mengenai suatu konsep, maka para ilmuwan itulah gurunya.
  2. Pada waktu mereka membaca karya Socrates, aristoteles atau plato dan mereka bisa memetik sesuatu, maka orang-orang yang telah meninggal ribuan tahun yang lalupun bisa menjadi guru yang baik.
  3. Pada waktu mereka melihat video seminar Bill Gates dan terinspirasi dengan pemikiran-pemikirannya, maka tanpa harus bersusah payah, Bill Gates pun bisa menjadi guru.
  4. Pada waktu mereka melihat film dokumenter mengenai suatu topik tertentu dan pengetahuannya bertambah, maka setiap orang yang telah bekerja keras mengerjakan film dokumenter tersebut adalah guru.
  5. Pada waktu mereka membuka CD tutorial dan menemukan karakter virtual menyapa dan kemudian memulai pelajarannya, maka karakter tersebut, meskipun kadang berupa kelinci adalah guru yang tidak pernah marah atau kesal meskipun HSer memerintahkan mereka untuk mengulang-ulang pelajaran yang belum dimengerti.
  6. Pada waktu mereka membaca teks book dan bisa menangkap inti pelajaran yang dimaksudkan maka pengarang teks book tersebut adalah guru yang baik.
  7. Pada waktu mereka mengunjungi suatu website untuk belajar, maka tim yang telah menyiapkan website tersebut adalah guru.
  8. Pada waktu mereka berdiskusi, berdebat atau berinteraksi melalaui internet entah itu dengan para ahli, murid lain atau siapa saja mengenai apa saja maka mereka adalah guru bagi satu sama lain.
  9. Pada waktu mereka mengunjungi museum, perusahaan, pabrik, pasar dan tempat-tempat lain dan mendapatkan informasi dari orang-orang yang ada di sana maka orang-orang tersebut, tidak perduli apakah direktur perusahaan atau tukang daging, adalah guru.
  10. Pada waktu mereka ingin tahu bagaimana membuat kulit martabak dan mendapatkan ilmunya dari abang martabak di pinggir jalan, maka orang yang biasa kita anggap sebagai warga kelas duapun bisa menjadi guru
  11. Pada waktu mereka terfokus pada suatu hal dan dengan segala kekuatan berkutat memikirkannya seorang diri maka mereka adalah guru bagi mereka sendiri.

Orangtua juga bisa menjadi guru tetapi yang terutama adalah menanamkan pada HSer bahwa segala sesuatu harus bermula dari diri sendiri, setelah itu buka mata dan buka telinga, setiap orang memiliki kelebihan yang bisa kita pelajari. Guru ada dimana-mana.

Refleksi Homeschool: Balon Terbang

Hari ini saya pergi ke salah satu supplier dengan mengajak Da Hye. Karena saya perlu berdiskusi cukup lama, Da Hye meminta ijin untuk main sendiri di luar. Tak lama kemudian dia masuk menemui saya sambil berbisik
"Boleh tidak aku pakai budget aku bulan ini untuk beli sesuatu? 1500 saja"
"Mau beli apa?" tanya saya.
"Balon Helium" sahutnya.

Karena masih banyak yang perlu saya urus, saya buru-buru mengijinkan dia padahal hati saya bersuara 'Balon helium..... Bukannya kamu sudah terlalu besar untuk bermain dengan balon terbang? lagi pula apa yang menarik dari balon helium.'

Setelah urusan selesai, di luar ruangan saya mendapati da hye dengan balon terbangnya. 'Ah sudahlah...tidak usah komentar' sahut saya dalam hati padahal sebenarnya ingin sekali saya mengomentari keputusannya membeli balon yang menurut saya 'pointless'. ...paling besok juga kempis, tidak bisa terbang lagi, dan pasti berakhir di tong sampah....sudah. .sudah... tarik nafas.

Dalam perjalanan pulang tiba tiba Da Hye bertanya
"Bagaimana kita bisa mendapat Helium?" entah karena saya yang pemikirannya dangkal atau karena sedang konsentrasi mengemudi, dengan santai dan penuh percaya diri saya menjawab
"Dari tabung, semacam tabung gas di rumah yang dipakai untuk masak."
"Itu aku tahu mom, oksigen yang di rumah sakit juga dari tabung. Maksudku bagaimana manusia bisa mendapat gas helium dan dimasukkan dalam tabung." Saya terdiam
"Wah itu juga mama tidak tahu."
"Ya sudah tidak apa-apa, nanti saya cari sendiri jawabannya." jawabnya santai.

Sepanjang perjalanan pulang saya menyesal telah merendahkan keputusannya untuk membeli balon helium meskipun hanya dalam hati. Kalau saja tadi saya melarangnya membeli atau menasehatinya panjang lebar tentang betapa tidak ada gunanya membeli balon terbang mungkin saya tidak akan pernah tahu bahwa dia memiliki pertanyaan yang menggugah di dalam benaknya, mungkin saya bahkan akan mematikan dorongannya untuk bisa menjadi 'mesin' belajar yang bisa bekerja sendiri dan malah menjadikannya sebagai 'mesin' yang perlu ditendang-tendang hanya supaya bisa nyala sebelum mati lagi dan perlu ditendang lebih keras lagi.

Malam ini sebelum tidur, setelah membaca cerita, Da Hye bertanya,
"Bencongan ada di mana mom? Bencongan itu dekat tempat tinggal kita lho, tetapi di mana?"
"Iya mama dengar juga dekat sini. Kenapa memangnya?"
"Ah tidak, yang jual balon tadi tinggal di Bencongan. Setelah SMP dia tidak sekolah lagi dan jual balon. Good night mom", hati ini semakin merasa bersalah telah sempat dipenuhi keburukan. Begitu banyak hal-hal kecil yang saya anggap tidak berharga tetapi berharga dan penting di matanya.

Setelah Da Hye tertidur, saya turun ke dapur untuk mengambil minum. Di meja ruang tamu tergeletak 2 balon kempis. Satu balon berwarna kuning jelas adalah balon bekas helium sedangkan yang satu lagi adalah balon sisa ulang tahun teman. Entah telah diapakan balon-balon tadi. It doesn't matter anymore.