Wednesday, February 27, 2008

Refleksi Homeschool: Ujian untuk siapa?

Akhirnya surat konfirmasi ujian dari University of Cambridge itu datang juga. Itu berarti resmi, 100%, Da Hye akan menjadi kandidat ujian tanggal 6 Maret ini. Setelah perjuangan yang cukup lama dan mendebarkan, seharusnya saya senang tetapi tiba-tiba entah kenapa saya justru merasa stress.

Ini adalah untuk yang pertama kalinya Da Hye ujian di sepanjang hidupnya. Dia akan berhadapan dengan orang-orang yang tidak dia kenal, berhadapan dengan ‘oral examiner’ pada bagian ujian lisan. Tidak hanya itu, Da Hye memaksa langsung mengambil ujian tingkat terakhir yang umumnya baru diambil anak pada usia 12 tahun dan dia baru saja ulang tahun yang ke 9. Argghhh……belum lagi semua ujian ini dilakukan dalam frame ‘British English’ sedangkah Da Hye mengklaim dirinya bisa ‘British English’ karena dia belajar dari Mr. Bean. Gubrak! Tidak adakah pilihan yang lebih baik selain Mr.Bean? Lengkap sudah penderitaan saya.

Pagi ini karena tidak tahan saya ungkapkan unek unek saya kepada Da Hye. Terutama karena meskipun tahu akan ujian, Da Hye belajar yang lain-lain kecuali bahan ujiannya. Bahkan setelah mendapatkan surat konfirmasi ujiannya, hal pertama yang dilakukan adalah bermain keluar rumah dan pulang dengan celana sobek karena tersangkut pohon.

Saya bercerita bagaimana saya dulu menghadapi ujian sebagai pembuka pembicaraan. Tidur tengah malam, bangun subuh, belajar terus menerus bahkan di bis, angkutan sampai detik-detik terakhir sebelum memasuki ruang ujian. Rupanya Da Hye tidak mengerti karena komentarnya singkat Poor mom, I am sorry for you Ditengah-tengah kegundahan, saya akhirnya tidak tahan bilang juga ke Da Hye:

“Harusnya mungkin kamu tidak mengambil ujian level terakhir.” (dalam pikiran: nak, kamu tidak jenius dan itu tidak apa-apa)

“Kenapa? Aku sudah lihat semua bahannya dan aku bisa. Mama bilang aku boleh ujian kalau aku sudah siap dan bisa. Sekarang ini aku sudah siap dan bisa.” Sahutnya

“Iya, tetapi kan kamu belum pernah pengalaman ujian sama sekali. Kalau gagal bagaimana?” tidak tahu kenapa saya punya mentalitas lemah seperti ini.

“Mama menghina sekali. Aku akan bawa pulang 15 Cambridge Crests nanti he..he..atau kalau gagal tidak apa-apa kan? Aku akan ambil ujian lagi.”

Tidak ada gunanya lagi berdebat. Saya terdiam. Stress ini adalah milik saya kenapa saya justru berusaha menularkannya ke Da Hye. Tiba-tiba Da Hye nyeletuk lagi.

“Kenapa mama tidak percaya kepada aku? Mama selalu bilang bahwa belajarku adalah keputusanku. Sekarang aku mengambil keputusan untuk ujian di level terakhir. Aku bisa tanggung jawab atas keputusanku. Mama harus percaya.”

Saya seperti disambar geledek. Selama ini saya selalu menanamkan nilai-nilai HS kami kepada Da Hye dan saat ini justru saya sendiri yang melanggarnya, saya sendiri yang meragukannya. Da Hye siap menhadapi ujian yang akan diberikan pada dirinya tidak perduli apa hasilnya nanti tetapi ternyata saya tidak siap menghadapi ujian sebagai ibu HSer. Saya perlu belajar lebih banyak lagi.

(catatan: dalam ujian tahap ini hasil diberi nilai berupa ‘Cambridge Crests’ sejumlah 3 sampai dengan maksimum 15)

Saturday, February 23, 2008

HS Intermezzo 6: Untuk para ibu yang merasa tidak punya nilai

Ibu yang memilih menjadi 'stay at home mom' saja memiliki nilai
sebesar ini.
http://www.reuters.com/article/lifestyleMolt/idUSN0950920220080509
apalagi kalau ditambah anak-anaknya HS. Dalam standar ukuran negara
manapun, nilainya tidak sedikit.

Jadi, ibu-ibu yang pada saat ini sedang terkena badai minder karena
memilih tinggal di rumah....cheer up!

HS Intermezzo 5: Apa kata Alfin Toffler dan Bill Gates?

Kita semua tahu, tujuan pendidikan seharusnya tidak hanya diukur dari aspek
sosial-ekonomi, tidak hanya diukur dari bagaimana nantinya para lulusan bisa
bekerja dan memberi nilai tambah pada perekonomian. Tetapi apabila setelah
sekian tahun mengenyam pendidikan dan hasilnya adalah menganggur atau bekerja
dengan penghasilan yang memprihatinkan, seharusnya kita mempertanyakan lagi apa
benar kita sudah mendapat pendidikan yang seharusnya?

Menarik sekali apa yang diucapkan Alfin Toffler dalam link berikut:
http://www.edutopia.org/future-school
-"The public school system is designed to produce a workforce for an economy
that will not be there."
-"Schools are supposed to be preparing kids for the business world oftomorrow,
to take jobs, to make our economy functional. The schools arechanging, if
anything, at 10 miles per hour. So, how do you match aneconomy that requires 100
miles per hour with an institution likepublic education? A system that changes,
if at all, at 10 miles perhour?"
-"Maybe it's important for teachers to quit for three or four years and godo
something else and come back. They'll come back with better ideas.They'll come
back with ideas about how the outside world works, in waysthat would not have
been available to them if they were in theclassroom the whole time."

Kita masih saja berpendirian bahwa "Sekolah adalah cara/model terbaik yang bisa
mempersiapakan anak-anak untuk memasuki dunia kerja/dunia nyata" padahal
sebagian besar sekolah bahkan tidak pernah memberi tahu atau mempersiapkan
anak-anak didiknya untuk mengetahui tantangan apa saja yang mereka harus hadapi
di dunia kerja. Murid tidak tahu karena guru juga tidak tahu. Maka dari itu
tidak heran kita semua pasti familiar dengan istilah "Sekolah dan pekerjaan
tidak nyambung"

(Semoga tulisan ini tidak menyinggung kalangan sekolah/guru, karena kritik ini
juga berlaku bagi kita keluarga HS)

HS Intermezzo 4: Bingung Sendiri

Kalau dipikir-pikir, HS di Indonesia ternyata memiliki tantangan yang lebih banyak daripada di luar Indonesia. Dan meskipun tantangan ini hanya berupa pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang sekitar, kadang-kadang pertanyaannya begitu 'ajaib' sehingga entah harus dijawab bagaimana. Kalau keluarga HS di luar Indonesia paling-paling hanya dihadapkan pada pertanyaan 'bagaimana sosialisasinya?', 'bagaimana legalisasinya?', bandingkan dengan apa yang kami alami.

Begitu orang tahu kami HS, berikut adalah pertanyaan-pertanyaan ajaib yang sering kami dapat:

- "HS di mana?" DI RUMAH "Iya tapi di mana?" YA DI RUMAH ATAU DIMANA SAJA. "Lho kan HS ada sekolahnya. HS situ tidak ada sekolahnya?" (%##$%@ BINGUNG SENDIRI)

- "Kenapa HS? Anaknya punya bakat khusus ya? Artis, model atau penyanyi." TIDAK SEMUA, ANAK SAYA BIASA-BIASA SAJA. "Lho terus kenapa HS?" (%##$%@ BINGUNG SENDIRI)

- "Maaf ya, sepertinya anaknya normal-normal saja, tidak ada kelainan. Kenapa tidak masuk sekolah biasa saja?" "hayo, malas sekolah ya?" (%##$%@ BINGUNG SENDIRI)

- "HS tentu saja hasilnya lebih baik dari sekolah, lha gurunya privat semua tetapi kan itu tidak bisa untuk semua orang. coba ibu keluar berapa juta sebulan? Tidak semua orang mampu bayar segitu." BAPAK TAHU HS DARI MANA? (%##$%@ BINGUNG SENDIRI)

- "Murid di HS anaknya banyak ya?" MAKSUDNYA? "Iya, di kelasnya ada berapa?" MAAF KAMI HS BUKAN SEKOLAH "Lho tapi di dekat rumah saya ada sekolah HS." (%##$%@ BINGUNG SENDIRI)

- "Uang pangkal sama SPPnya HS kan tidak murah juga, kenapa masih memutuskan HS?" SAYA TIDAK MENGERTI MAKSUD IBU KARENA KAMI HS TANPA UANG PANGKAL DAN SPP (%##$%@ BINGUNG SENDIRI) dsb

Tambah tahun pertanyaan yang kami dapat sebagai keluarga HS semakin aneh-aneh. Ternyata itu semua terjadi karena kami banyak ketinggalan berita. Hari ini seorang sahabat mengirim email yang berisi pesan singkat. "Sepertinya kamu harus membaca berita terbitan hari ini: http://www.majalahtrust.com/bisnis/peluang/ ....well, rupanya HS juga tidak beda dengan sekolah-sekolah yang sedang trend saat ini." Ah.....rupanya saya memang benar-benar ketinggalan jaman. Pantas saja saya bingung sendiri.

Malam ini kami berdua keluar menonton pertandingan basket di universitas di dekat rumah, seorang bapak menyapa "Mumpung besok libur, jadi keluar bersama ya?" lalu bapak tersebut bertanya, "anaknya sekolah di mana?" Kalau biasanya saya menjawab 'anak saya HSer', untuk pertama kalinya dalam kehidupan HS kami, saya menjawab "Anak saya tidak sekolah." Entah kenapa jawaban tersebut keluar....mungkin karena kami ingin menikmati pertandingan dan tidak ingin menjadi BINGUNG SENDIRI.

HS Intermezzo 3: Sekolah XXX

Sering tidak mendengar orang bertanya, "Sekolah anakmu nasional plus atau tidak?". Belum reda demam sekolah nasional plus, sekarang ada lagi istilah sekolah nasional plus X. Sekolah tersebut menyebut dirinya plus X karena memasukkan kurikulum ICT di dalamnya.(salah satu contohnya: http://kompas.com/kompas-cetak/0704/26/jateng/52153.htm) Mungkin tidak lama lagi akan muncul sekolah-sekolah nasional plus XXX di mana-mana.

Tidak banyak orang yang tahu, meskipun pada prakteknya sekolah-sekolah tersebut mungkin tidak melanggar UU, istilah sekolah nasional plus apalagi sekolah nasional plus X tidak pernah disebut dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003.

Seorang rekan pernah berkomentar 'Namanya juga orang jualan, bungkus menentukan juga. Lagipula jualannya laku laris manis, masyarakat memang suka yang begitu-begitu. Biar akal-akalan, kalau yang beli mau, bisa apa?' Ada benarnya juga....hm inilah sebagian potret pendidikan kita.

Thursday, February 14, 2008

Refleksi Homeschool: Mama kan Orang Indonesia

“Mama kan orang Indonesia, kenapa tidak tahu nama binatang-binatang ini?” begitu protes Da Hye karena saya tidak tahu bahasa Indonesia dari beberapa binatang tidak bertulang belakang yang berhasil dia kumpulkan dari kolam pasang surut sedangkan dia tahu bahasa Inggris dan bahasa Koreanya.. Dari sekian banyak binatang yang dia kumpulkan ada ‘nudibranch’, ‘cowrie’, ‘barnacle’, ‘chiton’, dan ‘limpet’ yang saya tidak tahu bahasa Indonesianya.,

Ingin sekali membalas protesnya saat itu ‘Mama memang tidak tahu tetapi mama bukan satu-satunya orang Indonesia yang tidak tahu bahasa Indonesia binatang-binatang itu. Presiden kita juga belum tentu tahu. Grrrr….’ Ah, kekanak-kananan sekali saya kalau seperti itu. Kalau dipikir-pikir, malu sendiri sebenarnya hati ini. Sepanjang sejarah persekolahan, saya selalu mendapatkan nilai di atas rata-rata dalam semua mata pelajaran yang berhubungan dengan Indonesia tetapi hal sederhana seperti itu saya tidak tahu atau mungkin tidak pernah dididik untuk mau tahu.

Mungkin kalimat ‘poverty in a land of such plenty’ (kemelaratan di tanah yang berkelimpahan) dengan berat hati harus kita terima untuk menggambarkan apa yang terjadi di tanah air ini. Kita bisa menghabiskan berjam-jam tanpa henti menyalahkan setiap kambing hitam atas kondisi ini tetapi kita juga bisa menggunakan satu menit saja untuk sadar bahwa kita semua butuh ‘pendidikan’.

Setelah bertanya pada banyak orang, mencari referensi di berbagai toko buku dan internet, saya masih tidak tahu nama binatang-binatang itu.

Tuesday, February 12, 2008

Disiplin

“Kalau tidak dengan hukuman, bagaimana anak bisa disiplin?”

“Kalau tidak dengan kekerasan, bagaimana anak mau mendengarkan orangtua?”

“Kalau tidak ditakut-takuti, bagaimana anak mau mengerjakan sesuatu?”

“Kalau tidak dengan aturan yang ketat, bagaimana anak mau belajar, bisa belajar dan berhasil?”

Begitulah kira-kira beberapa pertanyaan yang sering dilontarkan kalangan yang tidak percaya bahwa anak bisa disiplin tanpa hukuman, pemaksaan, ancaman, kekerasan atau aturan ketat.

Ada cuplikan menarik yang ditulis E.B. White dalam bukunya yang berjudul “Stuart Little” mengenai disiplin:

"Do you think you can maintain discipline?" asked the Superintendent. "Of course I can," replied Stuart. "I'll make the work interesting and the discipline will take care of itself."

(“Apakah kamu bisa memelihara kedisiplinan?” tanya superintenden. “tentu aku bisa” jawab Stuart “Aku akan membuat pekerjaan menjadi menyenangkan dan disiplin akan terjadi dengan sendirinya.” )

Sebagian dari kita mungkin percaya bahwa disiplin berarti melakukan sesuatu yang tidak enak dengan terpaksa. Tetapi disiplin yang berbuah adalah disiplin yang dilakukan dengan suka cita.