Monday, November 19, 2007

Tip: Budget HS 4

Pernah seorang rekan berujar, "Sekarang saya tahu, ternyata HS tidak
mahal, tetapi mahal sekali." Benarkah demikian?

HS sering terlihat mahal karena kita cenderung untuk membandingkan
diri kita dengan keluarga HS lain.Padahal kenyataannya, HS memiliki
bentuk yang sangat beragam sehingga praktik HS yang ideal bagi sebuah
keluarga tertentu tidak bisa diukur dalam satuan uang.

Untuk memerdekakan diri dari paradigma 'kalau tidak kaya tidak bisa
HS', maka pada saat memulai HS kita harus melakukannya dalam kerangka
anggaran yang mampu kita tanggung. Kalau kemampuan kita adalah
Rp.10.000 per bulan maka HS akan menjadi baik apabila kita
memaksimalkan nilai Rp.10.000 tersebut.

Setiap keluarga memiliki keterbatasan. Apapun keterbatasan itu, kita
pasti bisa melakukan yang terbaik.

Tuesday, November 13, 2007

Refleksi Homeschool: Tidak Semudah yang Terlihat

Da Hye sangat suka bermain peran tetapi terkadang terlalu menganggap remeh pekerjaan di depan kamera. Malah sering sekali dia berujar "It's easy peasy lemon squeeeeeeezy" (gaaaaaampaaaang sekali). Adakalanya dia mengajak anak-anak tetangga untuk bermain drama dan terlihat sekali percaya dirinya terbang diawang-awang. Tetapi percaya diri yang begitu tinggi berubah menjadi isak tangis beberapa hari yang lalu.

Pagi itu datang sebuah email dari Laurel Springs School California yang berisi pengumuman lomba membuat video dengan tema 'Why do you think homeschool is cool?'. Karena tertarik dengan hadiahnya Da Hye serta merta antusias ingin ikut serta. Seharian dia hanya sibuk menulis 'script'. Kelihatannya semua berjalan lancar karena meskipun dia bilang 'script'nya rahasia, wajahnya tampak berseri-seri. Tiba saatnya pengambilan gambar dengan video. Dia meminta saya untuk berlaku sebagai kameramen sementara dia berada di depan kamera. Beberapa detik setelah pengambilan pertama dia berteriak keras 'cut..cut..cut. ..' terjadi sebuah kesalahan. Pengambilan kedua salah juga, ketiga, keempat sampai ke lima puluh tujuh semuanya salah. Baterai kamera tiba-tiba habis dan saat itu juga Da Hye duduk lesu bercucuran air mata. "Aku benci melihat diriku di depan kamera. Kelihatannya sangat tidak bagus. Kenapa aku tidak bisa mengerjakannya dengan benar?". Karena pegal dan capai
menjadi kameramen dadakan, rasanya ingin sekali saya berujar "Makanya jangan suka menganggap remeh sesuatu." Ah, tetapi kalimat tersebut pasti akan lebih memperburuk suasana. Setelah kejadian itu, Da Hye seakan-akan lupa akan project videonya, mungkin marah, malu atau putus asa.

Malam ini, di saat makan malam, tiba-tiba Da Hye nyeletuk "Aku ingin mencoba membuat video lagi. Deadlinenya masih lama kan? Aku tidak tahu kalau berbicara di depan kamera ternyata susah sekali. Aku mau latihan, mama mau dengar?" Hati ini rasanya senang bukan main mendengar ucapannya. Saya tahu dengan 'script' yang sudah sebagian saya saksikan (yang menurut saya tidak bagus) video buatannya mungkin tidak akan mendapatkan rating tinggi, apalagi juara. Tetapi saya bersyukur pengalaman ini bisa memberikan pelajaran berharga baginya untuk tidak pernah meremehkan suatu pekerjaan dan untuk bisa bangkit lagi dari rasa putus asa. Semoga.....

Tip: Budget HS 3

Setiap orang pasti memiliki kelebihan dan keahlian yang bisa kita pelajari. Kita sering menghalangi diri anak-anak kita untuk mempelajari sesuatu karena keterbatasan finansial padahal banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran tanpa mengeluarkan biaya. Kuncinya adalah BARTER KEAHLIAN.

Sudah bertahun-tahun di lingkungan tempat tinggal kami, kami melakukan barter keahlian terutama untuk anak-anak. Syaratnya sangat sederhana dan tidak mengikat. Semua didasarkan pada prinsip memberi dan menerima. Ibu/bapak yang jago bercerita menukar keahliannya dengan ibu/bapak lain yang pintar membuat kue tradisional. Ibu/bapak yang mengerti IT menukar ilmunya dengan ibu/bapak lain yang bisa berenang, dst. Pada akhirnya mereka yang mau terlibat mendapatkan lebih dari satu sama lain dengan biaya yang sangat minimum.

Dengan membiasakan diri untuk bersumbangsih kepada orang lain, tanpa kita sadari kita dan anak-anak kita sebenarnya telah mendapat banyak ilmu-ilmu baru dari banyak orang, tidak terbatas di lingkungan tempat tinggal kita saja. Merasa tidak memiliki keahlian yang bisa disumbangkan? Mungkin ini saatnya bagi kita untuk melihat diri kita lebih dalam lagi, karena betapapun kecilnya itu, kita pasti memiliki kelebihan.

Tip: Budget HS 2

Rata-rata sekolah montessori yang resmi di daerah Jakarta dan
sekitarnya mematok uang sekolah tidak kurang dari Rp. 3 juta per
bulan. Orangtua yang mengerti tentang metode Montessori dan ingin
menjalankan HS dengan metode ini tentu tidak perlu mengeluarkan dana
sebanyak itu setiap bulan untuk mendapatkan efek pembelajaran yang sama.

Kuncinya adalah kreatifitas. Hampir semua alat/materi pembantu
pembelajaran dalam metode Montessori dapat kita temukan dengan mudah
dalam kehidupan sehari-hari atau kita buat sendiri dengan biaya
rendah. Silahkan mendapatkan inspirasinya di:
http://www.montessoriservices.com/store/index.php?main_page=index&cPath=114
dan
http://www.montessorird.com/index2.php?cPath=1
dan
http://www.montessoriresources.com/Practical-Life-Curriculum-C4.aspx
dan
http://www.montessoriforeveryone.com/

Jangan pernah lagi bilang kepada buah hati "kita orang tidak mampu",
tetapi katakan "berhemat dan kreatif itu baik"

Tip: Budget HS 1

Salah satu yang menyenangkan dari HS adalah, tidak ada pihak yang memaksa kita
untuk selalu membeli buku/materi belajar yang baru. Tahun ini kami membeli buku
penunjang kurikulum inti HS dari keluarga lain dengan harga 50% dari harga baru.
Buku-buku sejenis yang telah tidak kami pakai juga telah kami jual dengan harga
50% dari harga baru. Dengan begitu sebenarnya kami tidak mengeluarkan dana lagi
untuk membeli buku penunjang kurikulum inti untuk tahun ini atau tahun-tahun
mendatang.

Menyenangkan bukan? Ayo kita semangat untuk menemukan keluarga HS lain yang
menggunakan kurikulum yang sama sebagai partner tukar menukar materi HS.

Monday, November 12, 2007

Realita 5

Pada suatu kesempatan, seorang teman yang menyekolahkan anaknya di sekolah
Montessori memaksa saya untuk ikut seminar yang diadakan salah satu ahli
pendidikan montessori dari Amerika Serikat bernama Mr. Charles karena dia sangat
kuatir dengan homeschooling yang kami jalankan. Demi melegakan hatinya, sayapun
pergi ke seminar tersebut.

Mr. Charles adalah seorang pria setengah baya yang memiliki sikap serta tutur
kata sangat lembut. Aura mukanya sangat kebapakan. Pada awalnya seminar hanya
dipenuhi dengan penjelasan mengenai mainan-mainan edukatif montessori yang
berbeda-beda utuk setiap golongan umur dan mengenai prinsip-prinsip Montessori.
Kemudian tiba saatnya untuk sesi tanya jawab. Tidak ada seorangpun yang
bertanya. Karena suasana hening untuk beberapa saat, saya terdorong untuk
menanyakaan sesuatu yang sebenarnya telah lama mengganjal hati saya. Sekolah
montessori bertujuan untuk menghasilkan anak didik yang mandiri, cinta belajar,
perduli lingkungan dan bersumbangsih terhadap sesama tetapi kenyataan yang
sering saya temui, meskipun ada juga anak-anak yang tumbuh sesuai yang
dicita-citakan, adalah anak-anak manja yang bertutur kata kasar kepada pembantu,
kurang memiliki sopan santun, perusak dan tidak mau belajar kecuali dipaksa.
Pertanyaan saya adalah bagaimana bisa demikian?
padahal mereka mendapatkan pendidikan Montessori yang sama, tetapi kenapa
hasilnya berbeda?

Jawaban Mr.Charles sungguh di luar perkiraan saya. Beliau menjawab, "Ini terjadi
karena mereka memiliki orangtua yang berbeda yang mendidik mereka secara
berbeda. Orangtua yang percaya pada prinsip montessori harus menjalankan prinsip
tersebut di rumah. Adalah salah mengharapkan sekolah untuk 'do the magic' karena
pendidikan yang terutama adalah tanggung jawab orangtua. Itulah salah satu
alasan kenapa seminar ini diadakan untuk para orangtua."

Teman saya memandang saya dengan senyum masam, mungkin merasa tidak enak karena
terlalu mengkhawatirkan kami dan menganggap bahwa homeschooling adalah ide yang
menakutkan. Terkadang kita merasa bahwa masalah pendidikan hanyalah masalah
seberapa besar kita mampu membayar untuk sebuah pendidikan berkualitas. Kita
beranggapan uang bisa membeli sebuah pendidikan dan mengharapkan orang lain
untuk menyelesaikan tugas yang seharusnya kita pikul.