Sunday, September 16, 2007

Refleksi Homeschool: Menjadi Orang Biasa

Tetangga depan rumah mendadak meninggal dunia karena radang gusi. Dia adalah seorang pria muda ramah yang baru saja menikah dan pindah di lingkungan kami. Hasil autopsi menyatakan bahwa dia meninggal karena malpraktek. Sedih sekali mengingat yang bersangkutan masih sangat muda. Sebuah kehidupan lenyap begitu saja hanya karena kesalahan seorang dokter.

Malpraktek bisa terjadi di mana saja di belahan dunia ini tetapi kita tidak bisa menutup mata bahwa kasus malpraktek jumlahnya sangat signifikan di Indonesia. Saya bertanya-tanya dalam hati, jumlah malpraktek tentu akan berkurang apabila kita sebagai orangtua berhenti memaksa anak-anak kita untuk menjadi dokter di luar kehendak mereka. Banyak nyawa yang tidak perlu mati sia-sia apabila kita tetap bangga memiliki anak sebagai tukang masak, montir, pemain sepak bola atau badut sekalipun, meskipun bukan dokter.

Kapan hari pernah Da Hye menulis tentang "What I would like to be when I grow up" ("Cita-citaku setelah besar nanti"). Saya menunggu-nunggu hasil tulisannya dengan perasaan bahagia di hati. Da Hye membutuhkan waktu 30 menitan untuk membuat tulisan tersebut, tentu hasilnya akan sangat membanggakan. Setelah selesai, saya membacanya dengan tidak sabar. Hanya ada satu kalimat di sana "I want to be a commoner." ("Aku ingin menjadi orang biasa.") Dalam hati perasaan saya menjadi kecut, 'Setelah segala usaha yang kita lakukan, kamu hanya ingin menjadi orang biasa, Nak'. Tetapi biarlah kalimat itu saya simpan untuk diri saya sendiri.

Kejadian malpraktek dokter yang menimpa tetangga kami mengingatkan saya akan kejadian di atas. Apakah hari itu saya kan merasa bangga seandainya Da Hye menuliskan profesi-profesi gemerlap sebagai cita-citanya? Seandainya dia ingin menjadi orang biasa apakah saya akan menjadikan segalanya lebih baik apabila saya memaksanya untuk menjadi dokter?

Malam itu, sepulang melayat, sambil berjalan kaki saya katakan pada Da Hye "Mama bangga kamu ingin jadi orang biasa." Da Hye melihat saya dengan muka terheran-heran tidak tahu apa yang saya maksudkan.
Tidak apa-apa, saya ingin katakan kepada seluruh dunia dengan bangga "Anakku ingin jadi orang biasa."

Wednesday, September 12, 2007

Realita 4

Kemarin malam di Lativi, dalam acara talkshow mengenai Jakarta hadir komisi
pendidikan DPRD DKI Jakarta yang membahas mengenai sekolah gratis. Salah satu
pernyataan yang dilontarkan anggota DPRD tersebut adalah "Sekolah negeri untuk
anak menengah ke bawah sama sekali tidak diperbolehkan mengadakan pungutan
sedangkan sekolah negeri untuk anak-anak kelas menengah ke atas seperti Lab
School misalnya boleh mengadakan pungutan kepada orangtua karena tentunya
orangtua menginginkan sesuatu yang lebih baik bagi anak-anak mereka" pernyataan
ini disambut dengan hangat tentunya. Sekilas pernyataan ini terdengar sangat
adil, yang kelas menengah bawah tidak boleh dipungut biaya lain-lain sedangkan
yang menengah ke atas diperbolehkan. Yang mengganggu bukanlah masalah
diperbolehkannya pungutan atau tidak tetapi adanya sekolah negeri untuk ANAK
MENENGAH KE BAWAH dan ANAK MENENGAH KE ATAS. Kenapa harus dibedakan?

Berkaca dari kedua negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia (Finlandia
dan Korea Selatan) dari sekian banyak kriteria penilaian, salah satu kenapa
mereka terbaik adalah penerapan "equal opportunity" (kesempatan yang sama) bagi
setiap anak, setiap warga negara. Tidak ada istilah sekolah negeri
unggulan/favorit karena kualitas sekolah di seluruh negeri baik di daerah elit
maupun di daerah miskin, di perkotaan maupun di daerah terpencil sama. Mereka
menikmati fasilitas yang sama, buku-buku yang sama, pengajar dan bahkan makan
siang dengan kualitas yang sama tidak peduli apakah anak tersebut anak sopir
atau anak konglomerat. Dan tidak ada istilah murid yang tidak mendapatkan
bangku.

Sampai kapan anak-anak Indonesia akan diberi "stempel kasta" sejak lahir? Kalau
namamu Paiman dari gunung kidul, tidak usah belajar genetika. Kalau bapakmu
gembala kuda di Sumbawa, tidak usah tertarik animasi. Kalau kamu cina tetapi
kulitmu hitam dan penuh noda tidak usah baca buku-buku bagus. Kalau kamu lahir
sebagai gelandangan, tidak perlu tahu not balok. Kalau kamu bisu tuli, tidak
perlu diperkenalkan pada matematika. Kalau kamu keturunan Dayak, orang
pedalaman, tidak usah tahu tentang Internet. Demikian seterusnya.

Kita bisa marah dan menghujat atau pasif menunggu perubahan, tetapi untuk
sebagian keluarga, mereka memutuskan untuk bertindak dan tidak menunggu meskipun
terus melontarkan kritik. Apakah salah memilih homeschooling?

Realita 3

Sepasang kenalan bercerita, dengan kondisi keduanya bekerja sebagai dosen di
Perguruan Tinggi Negeri, bahkan sang suami mengajar di salah satu Universitas
terbaik di Indonesia, setelah memperhitungkan segala pemasukan dan pengeluaran,
mereka memutuskan untuk menganggarkan Rp.300.000 per bulan untuk dana pendidikan
anak semata wayang mereka. Sebenarnya Rp. 300.000/bulan tidaklah kecil untuk
ukuran makro Indonesia tetapi kenyataan berbicara lain. Hidup di Tangerang,
anggaran sebesar Rp. 300.000 per bulan hanya bisa dipakai untuk membayar ongkos
antar jemput anak sekolah di sekolah negeri yang gratis (tetapi tidak gratis).
Karena tergolong sekolah negeri yang tidak unggulan maka tidak perlu kaget kalau
anak bersekolah di gedung yang kotor, jam belajar yang sangat singkat, text book
dengan kualitas buruk, pengajar yang tidak menguasai bahan dan murid, begitu
papar mereka. Ada alternatif sekolah lain yang sedikit lebih mahal dan
kondisinya sedikit lebih baik,
tetapi karena letaknya lebih jauh, biaya antar jemput meningkat. Selain itu
sekolah tersebut mematok uang pangkal sebesar Rp.7 juta untuk SD yang sangat
memberatkan mereka berdua.

Kalau akhirnya mereka memutuskan untuk melakukan homeschool untuk putra mereka
supaya anak tersebut bisa memperoleh pendidikan yang menjadi haknya, apakah kita
masih akan terus memperdebatkan antara mana yang lebih unggul, sekolah dan
homeschool? Tidak penting siapa yang lebih unggul, reality bites.