Friday, August 29, 2008

Realita 11: Ada Harga Ada Rupa

"Ada harga ada rupa" Begitulah ujar salah satu host di televisi saat menutup suatu ulasan mengenai sekolah di musim tahun ajaran baru beberapa bulan yang lalu. Salah seorang teman yang sangat mengamini kalimat tersebut tanpa ragu-ragu memasukkan anaknya ke sekolah dengan uang sekolah Rp. 3 juta per bulan. "Aku ingin memberikan yang terbaik untuk anakku dan kualitas yang baik itu tidak pernah murah." Sangat dimengerti sekali, begini perhitungan teman tersebut: Dengan membayar Rp. 3 juta perbulan sebenarnya anaknya memperoleh pendidikan sebasar Rp. 60 juta per bulan (Rp. 3 juta x 20 anak dalam satu kelas).

Hampir dua bulan berjalan satu demi satu kekecewaan didapat. Kegiatan-kegiatan yang sering dipamerkan dalam brosur dan booklet jarang sekali dilakukan. Anak-anak hampir setiap hari hanya belajar dari textbook saja dan yang lebih menyakitkan hati adalah ketika dia mengetahui bahwa guru yang harus bergumul setiap hari menangani ke 20 anak dalam kelas tersebut, yang merupakan ujung tombak penentu kualitas pendidikan anak-anak tersebut hanya digaji sebesar Rp. 2.2 juta per bulan. "Aku pikir anakku mendapatkan pendidikan senilai 60 juta per bulan tetapi kenyataannya hanya 110 ribu per bulan." (Do the math: gaji guru Rp. 2.2 juta dibagi 20 anak)

Ada harga belum tentu ada rupa. Bukan berarti bahwa guru yang dibayar Rp. 2.2 juta per bulan tidak memiliki nilai yang tidak terhingga tetapi pertanyaannya adalah: Apa yang terjadi dengan uang yang telah dibayarkan oleh para orangtua?

Friday, August 22, 2008

Homeschool Stress 2

sambungan...

Quote Mbak melly: "Saya merasa kalau anak selalu berada dilingkungan yang hampir semua sesuai dengan harapan dia"

Tidak kok mbak, banyak keluarga yang memilih untuk menghadapkan anak kepada lingkungan sebagaimana adanya. Menghadapi lingkungan yang tidak sesuai dengan harapan anak juga bagian dari pembelajaran berharga jadi dalam konteks ini homeschooling bukanlah momok seperti sekolah juga bukan momok. Kami hidup dan menjadi bagian dalam dunia nyata maka dari itu lingkungan yang kami hadapi termasuk anak kami juga dinamis, tidak selamanya sesuai dengan harapan.

Quote Mbak Melly: "Jujur saya apalagi pelaku HS adalah orangtua sendiri , dan lingkungan sendiri yang otomatis pasti lebih mencintai dan mencoba memberikan apa yang diharapkan anak."

Seperti orangtua lain (non HS) yang ingin mencurahkan cintanya kepada anak-anaknya ada kalanya kita berkata 'tidak' atau memberikan batasan yang mungkin belum dimengerti anak sehingga terasa tidak enak bagi anak-anak. It's a tough love. Anak-anak juga perlu belajar merasakan cinta meskipun mereka tidak mendapatkan apa yang mereka mau. Hanya saja dalam hal belajar, pengalaman kami seperti ini: Karena anak kami belum cukup dewasa untuk memenuhi kebutuhan belajarnya 100% seorang diri dan mengambil tindakan yang 100% bisa dia pertanggung jawabkannya secara rasional/moral maka kami membuat sebuah lingkaran besar dimana dia bisa dengan bebas memilih apa yang ingin dia pelajari di dalamnya. kami tidak pernah khawatir memberikan kebebasan ini karena pilihan-pilihan yang ada bagi anak kami semuanya baik menurut keluarga kami (malam memilih membaca buku tentang Nazi, pagi bingung ingin membuat sambal tempe seorang diri). Kami berharap dengan adanya kebebasan ini anak kami belajar untuk tidak membohongi diri sendiri dalam belajar, supaya belajar bukan demi papa-mama, bukan untuk 'lip service', bukan demi nilai atau takut akan sesuatu tetapi belajar karena dia bisa merasakan kebutuhan akan itu dari dalam dirinya dan bisa menghargai kemampuan kita untuk belajar sebagai "a precious gift".

Quote mbak Melly:
Saya bangga sekali kalau pelakuku homecshool merasa yakin sekali bahwa anak anaknya jauh lebih baik.

Mungkin dalam hal ini tidak selalu berarti bahwa HSer lebih baik dari non HSer tetapi kami percaya keterlibatan kami sebagai orangtua memberikan fondasi yang penting bagi mereka dan itu jauh lebih baik daripada kita memilih menjadi orangtua yang sama sekali tidak perduli. Lebih baik ukurannya sangat relatif tetapi saya 100% yakin tidak hanya anak saya tetapi kami sekeluarga merasa lebih baik, better-off, karena homeschool dibandingkan dengan pilihan-pilihan lain yang tersedia bagi keluarga kami. It's getting much better every day.

Homeschool Stress

Berikut kutipan dari diskusi mengenai homeschool dan stress di forum sekolahrumah.

Dear Mbak Ines,
Setelah beberapa lama ini ikut pembahasan home shcooling, rasanya cukup asyik juga. Tetapi kog ada sedikit kekhawatiran kalau anak yang sama sekali tidak mengalami stress harus ulangan, perlu buat PR yang yang sebenarnya cukup mengajarkan betapa hidup yah begitu , ada hal yang tidakbisa dihindari, tapimereka perlu mental yang siap. Maksud saya tidak terlalurapuh gitulho. Menurut mbak kekhawatiran saya beralasan nggak sih ? seperti yang saya ketahui, hidup saya dilapangan benar benar membutuhkan mental juang yang kuat. Maaf yah cuma bertanya.
Thanks
Melly

Mbak Melly, berikut adalah pendapat pribadi saya dalam konteks homeschool kami.

Mbak betul, stress itu perlu. Kemampuan untuk bisa menangani stress dengan baik adalah bekal yang vital dalam kehidupan anak-anak kita. Baik HSer dan kami (orangtuanya) mengalami stress silih berganti sepanjang perjalanan kami.

Hanya saja kami melihatnya demikian, ada 2 macam stress, stress yang positif (membangun dan memacu kinerja) dan stress yang negatif (melumpuhkan dan membuat kita tidak berdaya/bahkan tumpul). Dalam homeschool kami memiliki lebih banyak keleluasaan untuk memilih lebih banyak stress positif daripada stress negatif. Stress negatif tetap ada dan tidak terhindarkan meskipun bentuknya bukan PR atau ulangan tetapi kami merasa bahwa energi lebih baik dialokasikan untuk menangani stress-stress positif.

Meskipun demikian, pandangan seperti itu masih sering dianggap tidak realistis oleh sebagian banyak orang yang berpendapat bahwa 'kita tidak bisa memiliki kendali atas stress negatif, kita tidak bisa mencegahnya, inilah jalan yang harus kita lalui' tetapi apabila kita belajar dari pengalaman banyak orang lain ternyata sebenarnya kita bisa mengendalikan hidup kita untuk tidak selalu berkubang dalam stress-stress negatif, paling tidak bisa diminimalisir karena tidak semua stress negatif harus ditangani.

Misalnya, tadi malam anak tetangga dan orangtuanya terpaksa datang ke ke rumah-rumah tetangga (termasuk rumah saya) untuk menanyakan nama ketua RT, RW, lurah, camat, dan pejabat pemerintahan lain di domisili kami dan tidak ada yang tahu. Data ini sulit kita dapatkan mengingat kami tinggal di perumahan, karena capai bekerja dan hari sudah larut ibu anak tersebut stress. Ibu tersebut marah kepada anaknya dan juga kepada gurunya yang dianggap memberi PR yang 'nggak penting banget sih'. Ibu tersebut menganjurkan anaknya untuk mengungkapkan kesulitannya kepada gurunya tetapi sang anak ketakutan. 'Kalau aku tidak mengerjakan PR aku dihukum dan dapat nilai nol'. Ibu yang tadinya berusaha sabar akhirnya histeris juga...entah apa yang terjadi kemudian. Di waktu yang bersamaan (bahkan sampai sekarang) putri saya juga sedang stress berat. Dia sedang membuat claymation (animasi menggunakan clay) karena claymation buatannya tidak halus gerakannya dan terlebih lagi
suara yang dimasukkannya tidak sinkron dengan gerakan claymationnya. Dia stress karena harus mencari-cari kesalahannya dan sepertinya harus melakukan pekerjaan tersebut dari awal lagi. Stress menimbang-nimbang apakah dia lanjutkan project claymation 'gadis kecil dengan binatang-binatang peliharaannya' atau membuat 'pinguin yang berkejaran'. Dia dan salah seorang temannya ingin ikut kompetisi BAFTA di Inggris dan deadline sudah semakin dekat.

Bukan berarti claymation lebih bagus/penting dari nama-nama ketua RT, RW, lurah, camat, dst tetapi contoh ini hanya sebagai gambaran bahwa kenyataan yang sering kita alami adalah demikian. Kita perlu tahu nama ketua RT, RW, dst pada waktu kita membutuhkannya dalam konteks yang tepat tetapi tidak harus malam itu dan tidak harus dalam suasana stress dan saling menjerit.

Stress ada dimana-mana, tidak harus ke sekolah untuk mendapatkan stress karena kehidupan ini sudah penuh dengan stress yang bisa kita alami dengan GRATIS. Dengan homeschool kita tidak bebas stress tetapi lebih memiliki kendali untuk mengalokasi lebih banyak waktu menangani stress-stress yang positif dahulu dan meninggalkan stress-stress yang tidak membangun.

Tuesday, August 05, 2008

Refleksi Homeschool: Pergi ke Sekolah

Bagi kita, orangtua, sekolah berukuran raksasa dengan ribuan siswa, fasilitas lengkap, sistem keamanan super canggih, 300an guru yang berasal lebih dari 60 negara dan sederet kehebatan lainnya adalah sebuah jaminan. Tetapi bagi anak itu bisa jadi hanya berarti air minum yang dingin dan teman-teman bermain yang mengasyikkan. Kenapa? because there's nothing I cannot study at home.

Hari ini adalah hari pertama dalam hidupnya Da Hye menginjakkan kaki di sekolah super besar dengan ribuan siswa untuk mengikuti program summer school di Jakarta International School. Setelah hari pertama berlalu inilah cuplikan percakapan kami.

Mom: "How was it?"
Da Hye: "Great"
Mom: "What was great?"
Da Hye: "I drank from the water fountains, they were everywhere in the school and best of all they were refregirated"
Mom: "I don't talk about the facility. I mean how was the class?"
Da Hye: "Oh ...that! Well, it was kind of okay."
Mom: "What do you mean okay?"
Da Hye:" We learnt stuffs I already know."
Mom: "What stuffs?"
Da Hye: "You know, we disscussed about Larry and Sergei...you know them right? the google guys...Then we talked about the life of Bill Gates, Mitall and of course your guru Buffett."
Mom: "Correction! Buffett is not my guru, why do you think he's my guru? is that all? You learnt nothing else"
Da Hye: "Oh! We set up a business plan, guess what? my friends picked me as the CEO."
Mom: (GR sekali karena dalam kelas yang diikuti Da Hye kebanyakan anak berusia 10/11 tahun) "Really? That means they think that you have the quality of becoming a CEO. They think you are good."
Da Hye: "Oh ...mom, that's not quite like it. They are just bored of school. They go to school everyday and they still have to go to school in summer holiday too. They are just tired of everything so they picked me instead because they could not think anymore."
Mom: "Oh well...I see. So how do you think about a school life?"
Da Hye: "It's not bad, I like recess, I love my friends but I think there's nothing I cannot study at home. I don't mind going there every once in a while but going there everyday is a bad idea. Everyone told me 'school is suck' and I said 'come on...you guys are going to the most expensive school in this country' and they told me 'so what? you are lucky to stay at home'...geee...I am not that at home right mom...I am kind of everywhere."

HS Intermezzo 8: Nim's Island

Film Nim's Island berkisah tentang pertualangan seorang gadis berusia
11 tahun (Nim) dan ayahnya (seorang ilmuwan yang sedang meneliti
plankton) yang tinggal di pulau terpencil di samudra pasifik.

Pada bagian awal narasinya, salah satu kalimat yang dinarasikan oleh
Nim adalah " I don't have to go to school. I homeschool." menarik bukan?