Sunday, June 29, 2008

Refleksi Homeschool: Si Induk Ayam

Salah satu pertanyaan pada kuesioner yang diberikan kepada saya oleh seorang mahasiswa yang sedang mengadakan penelitian mengenai homeschooling adalah

“Apakah tantangan terberat dalam homeschooling?”

Pilihan jawabannya:

a. legalitas

b. sosialisasi

c. mengajar mata pelajaran yang sulit

d. memperoleh bahan-bahan ajar

e. mengatur jadwal

Berhari-hari bagian pertanyaan tersebut tidak saya jawab karena ada yang tidak tepat dengan pilihan jawaban yang tersedia sampai suatu hari ................

Pagi itu salah satu acara yang saya tunggu-tunggu di National Geographic Channel mengudara. Acara yang berjudul ‘Brain Child’ tersebut membahas mengenai pro kontra teori mengenai kejeniusan anak. Selain karena selalu tertarik dengan teori-teori perkembangan otak, acara ‘Brain Child’ kali ini sungguh menarik minat saya karena secara spesifik membahas seorang anak prodigy bernama Marc Yu yang adalah seorang homeschooler.

Da Hye yang sedang asyik bermain dengan anak ayamnya sengaja saya ajak ikut menonton, sekedar untuk menambah wawasan bahwa banyak homeschooler lain di dunia ini. Degan muka malas dia duduk di depan TV dan berujar “Aku tidak mengerti kenapa mama tertarik dengan hal-hal seperti ini dan kenapa aku harus menontonnya.” Saya tidak menyahutnya karena saya tahu dia sedang kesal.

Acara terus berjalan, menit demi menit semakin tampak jelas betapa hebatnya Marc Yu kecil ini. Tidak hanya seorang music prodigy, Marc Yu juga sangat hebat di bidang akademis. Pada usia 7 tahun dia sudah bisa menyelesaikan soal-soal matematika rumit tingkat high school dan memiliki segudang kehebatan lainnya.

Sepanjang acara, beberapa kali Da Hye berujar “wow”...”wow”..”jadi ini yang disebut prodigy” akhirnya serius juga dia mengikuti acara tersebut. Pada saat setelah adegan Marc Yu belajar bersama ibunya, tiba-tiba Da Hye nyeletuk “Mama menyesal tidak aku tidak lahir prodigy?” Tentu saja buru-buru saya menjawab, “sudah pasti tidak menyesal.” Tetapi saya tahu dalam hati saya berpikiran sangat jahat ‘Hm...sebenarnya enak juga kalau punya anak prodigy. Bayangkan, segala sesuatu sudah langsung bisa dan hebat. Ibu Marc Yu pasti tidak pernah merasakan betapa tersayatnya hati ini melihat darah daging kita sendiri mebuat kesalahan-kesalahan bodoh.‘

Belum juga acara selesai, Da hye sudah beranjak dari tempat duduknya. “Aku sudah tahu inti acaranya. Sekarang aku mau main dengan anak ayamku lagi.” Saya menyaksikan sisa acara seorang diri dengan perasaan kosong.

Setelah acara selesai, saya menghampiri Da Hye yang asyik terkekeh-kekeh bersama dua anak ayam yang membuntutinya kemanapun dia pergi. “Mama..mama..aku punya penemuan baru. Mama tahu tidak, anak ayam yang masih kecil kan selalu membuntuti mamanya. Karena sekarang mamanya tidak ada dan aku selalu membelai mereka maka mereka kira aku ini mamanya, kemanapun aku pergi mereka ikut...uha...ha..ha....” Ujar Da Hye riang.

Saat itu saya sadar, betapa kontrasnya sosok Marc Yu yang menghabiskan berjam-jam sehari dengan piano dan cellonya dengan Da Hye yang hanya berlatih biola beberapa menit per minggu, itupun kalau ingat. Marc Yu yang dengan cepat dan lahap mempelajari aljabar dan kalkulus kelas 12 dengan Da Hye yang masih tidak kunjung menyelesaikan bahan matematika kelas 3nya. Marc Yu yang disebut-sebut sebagai child prodigy dengan Da Hye yang menyebut dirinya induk ayam.

Bergegas saya mengambil lembaran kuesioner yang entah sudah berapa lama saya tumpuk di rak buku. Pada bagian pilihan jawaban atas pertanyaan “Apakah tantangan terberat dalam homeschool?” saya sisipkan pilihan jawaban versi saya sendiri dan saya lingkari: f. menerima anak yang menganggap dirinya induk ayam dan tidak mengharapkannya menjadi child prodigy.

Tidak penting apakah nantinya jawaban itu dianggap aneh. Yang penting saya sudah jujur terhadap diri sendiri……..ini benar-benar salah satu tantangan terberat dalam homeschool.

Saturday, June 28, 2008

Homeschool VS Ujian Persamaan

Belakangan ini media semakin rancu mengulas mengenai homeschool. Sangat bisa dimaklumi karena kebanyakan nasa sumber yang dimintai keterangan mengenai homeschool memberikan informasi yang rancu. Salah satu yang menarik adalah mengenai homeschool dan ujian persamaan. Salah satu surat kabar memberitakan jumlah homeschooler di Indonesia pada bulan Mei 2008 adalah 3000 orang, sebuah angka yang fantastis tetapi patut dipertanyakan. Apakah mereka yang homeschool adalah mereka yang mengambil ujian persamaan? Dan apakah mereka yang mengambil ujian persamaan bisa disebut homeschooler? Kalau tidak kenapa istilah homeschool dipakai sedangkan kita tahu mekanisme ujian persamaan itu ada JAUH sebelum istilah homeschool mulai digembar-gemborkan. Tanpa ada istilah homeschoolpun sebagai warga negara kita berhak mengikuti ujian persamaan sesuai dengan peraturan dan prosedur yang berlaku.

Homeschool dipandang sebagai angin segar, disambut dengan eforia. Apakah sekolah sedemikian dibencinya sehingga tidak ada satu mediapun yang berani mengritisi pihak-pihak yang memberikan pemaknaan-pemaknaan ngawur mengenai homeschool dengan tujuan bisnis semata? Apakah para penulis sedang dikejar deadline sehingga tidak sempat lagi melakukan penelitian mengani homeschool? Apakah para penulis dengan berbagai tuntutan dan himpitan hidup sudah tidak memiliki tenanga lagi untuk melakukan investigasi-investigasi di lapangan tentang praktik-praktik 'ajaib' dari homeschooling? Atau, apakah selama ini pemberitaan-pemberitaan mengenai homeschool sebenarnya murni iklan terselubung tanpa niat tulus untuk menggugah semangat keluarga Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka secara mandiri?

Kembali lagi mengenai masalah ujian persamaan, ujian persamaan adalah mekanisme yang disediakan pemerintah (dalam hal ini diknas) untuk memperoleh persamaan status secara hukum (legal) bagi siapa saja yang tidak sekolah sehingga mereka memiliki kedudukan yang sama dengan mereka yang bersekolah. Beribu-ribu PKBM tersebar di seluruh nusantara dan merekalah yang selama ini menangani anak-anak/orang dewasa yang tidak sekolah untuk mendapatkan ujian persamaan selama BERTAHUN-TAHUN, jauh sebelum istilah homeschool bahkan pernah terdengar di bumi Indonesia. Setiap kantor diknas kecamatan memiliki data PKBM yang terdaftar di otoritas wilayahnya masing-masing yang menerima siapa saja yang ingin mengikuti ujian persamaan.

Jadi kenapa sepertinya kita takut bukan kepalang kalau tidak bergabung dengan komunitas atau apapun wujudnya yang mengatasnamakan homeschool padahal sebenarnya pekerjaannya hanyalah penyalur ujian persamaan? Apakah sebenarnya kita hanya perduli dengan ijasah, takut tidak mendapat ijasah kalau-kalau tidak lulus dan berharap ada 'kesaktian' dari lembaga-lembaga tertentu? Kalau 'kesaktian' ujian pasti lulus yang dicari, tidak harus lembaga, banyak pihak yang bisa mengusahakan tetapi kenapa harus menggunakan nama homeschool? Apakah sebenarnya kita sudah pusing dengan urusan anak-anak kita yang dicap gagal di sekolah dan tidak mau tahu yang penting anak kita lulus dan karena malu tidak sekolah sebagai gantinya kita mencari sebuah nama hanya sekedar gengsi? takut dianggap miskin/tidak bonafid? Atau, apakah sebenarnya kita ini buta mengenai pendidikan sama sekali?

Jalur pendidikan formal sudah banyak dirusak oleh mereka yang tidak berpikiran panjang memikirkan peningkatan kualitas generasi penerus bangsa. Sekarang jalur pendidikan non-formal/informalpun sudah mulai dirusak dengan menggunakan pendifinisian homeschool yang sarat bias untuk melegitimasi pendirian bisnis-bisnis yang tidak sehat dan tidak profesional. Seandainya setiap jalur legalitas pendidikan yang ada morat-marit, kacau balau, atau bahkan hancur lebur sekalipun. Keluarga yang benar-benar menjalankan homeschool akan terus berdiri dan terus belajar bersama dalam situasi apapun.

Ines Setiawan

Tuesday, June 24, 2008

HS Intermezzo 7: Barack Obama dan Homeschooling

Pada waktu nama Barack Obama mulai ramai diperbincangkan sebagai kandidat presiden Amerika Serikat, media Indonesia juga ramai membahas mengenai sosok Obama karena yang bersangkutan pernah menghabiskan masa kecilnya di Indonesia. Paling tidak 2 sekolah yang pernah disinggahi Obama kecil pada waktu tinggal di Indonesia sama-sama merasa memiliki ANDIL dalam keberhasilan Barack Obama sekarang ini.

Namun tidak banyak yang tahu, karena tidak mampu mengirim Obama ke sekolah internasional elit, ibu Obama tidak pantang menyerah. Merasa bahwa anaknya tidak cukup tertantang dengan pendidikan yang didapat di sekolahnya, setiap pagi beliau bangun jam 4 subuh untuk mengajar Obama dengan bahan korespondensi dari Amerika Serikat. http://www.time. com/time/ nation/article/ 0,8599,1729524- 4,00.html
Partly homeschooling?

Tidak penting apakah Obama harus dikategorikan sebagai partial homescholer atau tidak karena 'claim' keunggulan homeschooling tidak ada gunanya untuk dibesar-besarkan. Yang lebih penting adalah semangat dan kerja keras ibunya yang patut dicontoh. Berani bangun jam 4 pagi dan homeschooling besok?

Saturday, June 21, 2008

Realita 10: Legal, International dan Bangkrut

Awalnya saya tidak percaya ketika seorang teman menelepon setengah menjerit dengan nada yang histeris "Sekolah anakku bangkrut, aku tidak terima, pokoknya aku tidak terima.....". Saya ingat ketika 2 tahun yang lalu menemaninya pergi ke open house John Calvin School di kawasan Kelapa Gading. Seperti sekolah-sekolah dengan klaim Internasional lainnya, sekolah tersebut dilengkapi dengan brosur-brosur super dasyat, visi dan misi yang menggetarkan jiwa. Benar-benar seperti sekolah impian apalagi jelas-jelas disebut bahwa salah satu pendiri sekolah tersebut adalah mantan menteri pendidikan kita, yang tentu saja bergelad Doktor.

"Kualitasnya sudah pasti dijaminlah, yang mendirikan saja mantan menteri pendidikan." Begitu ujar teman saya yang histeris tersebut pada waktu itu. Beberapa kali saya membahas mengenai 'aura' guru-gurunya yang sepertinya 'underpaid' dan tertekan. "Bagaimana guru-guru tersebut bisa menghasilkan 'visionary leader' seperti yang dijanjikan sekolah sementara kelihatannya mereka sendiri apatis terhadap hidup mereka? Sepertinya ada yang salah dengan sekolah ini,
over promise-under deliver" ujar saya pada waktu itu.

Karena kebetulan sekolah tersebut juga menawarkan Cambridge Assessment kepada murid-muridnya maka saya sangat bersemangat ingin menanyakan berbagai hal mengenai penerapan kurikulum tersebut. Setelah dilempar dari guru satu ke guru lain dengan jawaban yang mengambang maka akhirnya saya dipertemukan kepada seorang guru asing muda yang menurut hemat saya juga tidak banyak tahu mengenai seluk beluk Cambridge Assessment.

Mengejutkan sekali bahwa sekolah tersebut akhirnya bangkrut, (lihat beritanya di:
http://www.kompas.com/read/xml/2008/05/31/08173711/sekolah.mantan.menteri.bangkr\
ut...
)

Kalau presiden, menteri, pejabat, selebriti, pengusaha dan sederetan orang besar lain bisa berbuat salah dan membawa mala petaka dan mimpi buruk bagi banyak orang, apakah kita yang orang biasa harus takut hanya karena kita ingin memenuhi hak pendidikan anak-anak kita secara mandiri?

Refleksi Homeschool: Tukang Ayam

Ketika kita belajar mengenai bintang-bintang maka bintang-bintanglah yang akan kita pelajari. Ketika kita belajar mengenai ikan maka ikanlah yang akan kita pelajari. Tetapi seandainya kita mau membuka mata dan hati sebenarnya ada banyak pelajaran berharga yang tersembunyi dari setiap hal yang kita pelajari, yang terkadang luput dari kesadaran kita.

Malam itu Da Hye bergumam sendiri "Isn't it a miracle? I mean, can you imagine how a chicken lay an egg? Where does the shell come from?" (Tidakkah itu sebuah keajaiban? Maksudku, mama bisa membayangkan bagaimana ayam bertelur? Dari mana asalnya cangkang?) Karena dia begitu terheran-heran maka saya pikir inilah saat yang tepat untuk membawanya ke tukang ayam di pasar untuk melihat sendiri organ ayam yang menghasilkan telur.

Pagi harinya kami pergi ke pasar. Kami mengunjungi beberapa tukang ayam hidup tetapi tidak begitu beruntung karena ayam-ayam yang tersedia adalah ayam-ayam yang belum bertelur. Salah satu tukang ayam merekomendasikan satu-satunya tukang ayam di pasar yang menjual ayam-ayam yang sudah pernah bertelur, kami pun pergi ke los yang ditunjuk.

Setiba di los yang dimaksud, maka saya langsung mengemukakan maksud saya untuk menunjukkan kepada Da Hye organ ayam yang memproduksi telur. Tukang ayam
bermuka garang dengan tato di tubuhnya dan anting-anting di telinganya tersebut
mendengarkan celotehan saya dengan seksama. Kemudian tiba-tiba tanpa berbicara
dia mengambil seekor ayam dan berucap doa untuk menyembelih ayam tersebut. Tidak lama kemudian ayam telah dibelahnya dan dari dalam tubuh ayam tersebut diambilnya segumpal organ yang saya maksud dan ditunjukkan kepada saya dan DaHye.
"Ini dek yang menghasilkan telur. Lihat telur-telur yang sedang antri keluar, belum ada cangkangnya" sahutnya enteng. Karena kaget tukang ayam tersebut tiba-tiba menyembelih ayam maka saya berujar "Sebenarnya saya hanya bermaksud membeli telurnya saja, barangkali ada, tetapi karena sudah terlanjur, tidak apa-apa deh saya beli ayamnya sekalian."
"Tidak usah bu, nanti juga laku, ini telurnya buat adik" katanya sembari memasukan organ tersebut dalam plastik. Ketika saya hendak membayar Rp.5.000 rupiah untuk organ tersebut, tukang ayam tersebut mati-matian menolak. Maka kamipun pergi dengan sangat berterima kasih.

Sesampai di rumah, saya langsung meminta da hye untuk membaca beberapa referensi tentang telur ayam. Pagi itu saya begitu bersemangat untuk mendampingi da hye belajar mengenai reproduksi ayam tetapi da hye tidak sesemangat saya, tidak sesemangat waktu sebelum pergi ke pasar. Tiba-tiba dia berkata pelan "Mommy, that chicken man in the market...well, he looks like a gangster but he is so kind, don't you think? He doesn't seem to have much but he gives this to me for free. He even sacrificed his chicken." (mama, tukang ayam di pasar itu, dia kelihatan seperti gangster tetapi dia sangat baik, iya kan? Dia kelihatannya tidak punya banyak tetapi dia memberi ini kepadaku cuma-cuma. Dia bahkan mengorbankan ayamnya."

Tiba-tiba hati saya merasa kecut. Sepanjang pagi yang saya perdulikan hanyalah organ penghasil telur tersebut dan bagaimana Da Hye bisa mengerti mengenai konsep-konsep tentang keajaiban telur ayam (dan bukankah ini adalah salah satu poin yang seharusnya dipelajari dalam kurikulum homeschool kami) tetapi keajaiban lain, tentang kebaikan hati seseorang yang kelihatannya jahat, kebaikan hati seseorang yang tidak punya banyak, tidak saya perdulikan. Saya berpikir bahwa pagi itu Da Hye telah belajar tentang proses ayam bertelur, tetapi sesungguhnya yang lebih membekas di hatinya adalah pelajaran untuk tidak menghakimi seseorang hanya berdasarkan tampak luarnya, pelajaran mengenai kemurahan hati.

Mata hati anak terbuka setiap saat, mereka mampu melihat apa yang tidak atau lupa kita lihat. Saya masih harus banyak belajar.