Tuesday, January 29, 2008

Realita 8

Tahun ajaran baru masih beberapa bulan ke depan tetapi sekolah-sekolah telah
gencar melakukan 'open house' untuk menarik para pelanggan baru.Salah satu teman
bermain Da Hye, anak Korea tetangga kami sebut sajaHY, mengundang kami untuk
menghadiri 'open house' di sekolahnya.Wajahnya begitu memelas memohon-mohon kami
untuk datang karena setiapmurid ditugaskan untuk membawa tamu di acara tersebut.
Demimenyenangkan hatinya dan memberikan pengalaman kepada Da Hye, makakamipun
setuju untuk pergi.

Sekolah HY di bilangan Kebon Jeruksangatlah besar dan megah. Berbagai fasilitas
ada di sana. Meskipunfasilitas yang ada hampir semua rata-rata, perpustakaannya
sungguh luarbiasa.
"Kamu sungguh beruntung punya perpustakaan sebagus ini" komentar saya kepada HY
"Iya, tapi aku jarang bisa membaca." jawab HY
"Kenapa?" tanya saya penasaran
"Setiaphari aku sibuk, di sekolah tidak ada waktu untuk membaca. Bukunya
jugatidak bisa dipinjam tetapi bisa pinjam juga tidak ada gunanya karenasetiap
hari kami ada tugas macam-macam, tidak ada waktu." sahutnya.

Terkadangmeskipun mau dan mampu membayar sangat mahal, tidak semua
anak/keluargaberuntung bisa menemukan sekolah yang memberikan kesempatan
buatanak-anak untuk membaca. Kalau sebuah kelurga menemukan jalan lain
bagianak-anaknya untuk bisa membaca buku-buku yang memperkaya tanpa
harusmengeluarkan berpuluh-puluh juta setiap tahunnya, apakah membayar
mahaluntuk hanya bisa/sempat membaca teksbook menjadi sebuah keharusan?

Realita 7

Suatu kali, salah seorang teman, guru yang berdedikasi tinggi di salah satu
sekolah dengan fasilitas lengkap berujar "Pada akhirnya memang hanya anak-anak
yang mendapatkan pendampingan dari orangtuanyalah yang biasanya bisa 'survive'
di kelas, yang lain seperti penggembira saja. Meskipun mengajar di kelas dengan
populasi kecil, saya tidak pernah bisa merasa maksimal memberikan yang terbaik.
Halangannya terlalu banyak."

Kemudian beliau menghela nafas dan melanjutkan, "Yang lebih menyedihkan, setiap
hari saya berusaha keras dan tidak pernah mendapatkan hasil yang maksimum di
kelas sedangkan saya membiarkan anak-anak saya dididik alakadarnya di sekolah
lain karena saya tidak mampu menyekolahkan di tempat saya bekerja. Seperti
lingkaran setan saja."

Kalau sebuah keluarga memiliki pilihan untuk keluar dari lingkaran setan dan
mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik, apakah ini salah?

Thursday, January 24, 2008

HS intermezzo 2 : Legalitas Versi Jahil

Paling menyedihkan dan mengiris-ngiris hati HS di Indonesia adalah tatkala kita
berdiskusi mengenai masalah hukum (law and order) kepada anak-anak.

"Negara kita negara hukum nak" padahal koruptor besar maupun kecil bertebaran di
mana-mana, semuanya kebal hukum dan bisa DIMAAFKAN sedangkan maling kambing
sudah pasti akan dihukum dan tidak pernah dimaafkan.

Aneh juga rasanya, setiap kali kita berbicara mengenai HS, selalu saja LEGALITAS
menjadi isu pertama padahal entah kapan hukum pernah ditegakkan di negeri ini.
Ah, mungkin karena hukum hanya berlaku bagi mereka yang miskin, bodoh dan
tertindas.

Kalau koruptor bisa dimaafkan, berarti HSer yang tidak memiliki ijazah atau
tidak mengurus legalitas juga bisa DIMAAFKAN.

"Mana ijasahnya?" tanya bagian penerimaan universitas kepada HSer.
"Mana ijasahnya?" tanya bagian penerimaan perusahaan kepada HSer.
Seharusnya HSer juga bisa bilang "Dimaafkan saja lah pak."

Hanya sebuah pikiran jahil............

Tip: Budget HS 6

Beberapa waktu belakangan, tempe dan tahu yang dijual menyusut volumenya.
Langkahnya kedelai menyebabkan produsen memperkecil ukuran tahu dan tempenya
daripada menaikkan harga jual. Menyedihkan sekali, tempe dan tahu yang makanan
rakyat sudah tidak mampu dibeli oleh sebagian besar rakyat. Kurang luas apa
tanah air kita sehingga bisa kekurangan kedelai? Khalayak meributkan ijazah dan
ujian padahal ada yang lebih pantas diributkan seperti semakin banyaknya
generasi muda kita yang tidak tahu seperti apa tanaman padi, jagung, kedelai,
kacang, tomat, kentang, wortel, bawang, kopi, coklat, teh, kelapa, dan daftarnya
terus memanjang.

Belum pernah memberi tantangan pada anak untuk mencatat tanaman apa saja yang
pernah mereka tahu secara langsung? Mungkin inilah saatnya. Kalau pergi ke tanah
pertanian atau perkebunan membutuhkan anggaran yang memberatkan, kenapa tidak
menanam sendiri? yang kita perlukan hanyalah sebutir BIJI dan sekantung penuh
KESABARAN. Murah bukan?