Saturday, March 15, 2008

Refleksi Homeschool: Sparta dan Athens

Minggu lalu Da Hye memilih untuk belajar mengenai sejarah Yunani kuno. Karena sudah cukup besar untuk bisa menentukan buku-buku apa saja yang dibutuhkan dan website apa saja yang bisa menunjang belajarnya, maka saya membiarkannya melakukan segala sesuatunya sendiri. Pekerjaan luar biasa banyak minggu itu sehingga hampir tidak ada satu topik mengenai sejarah Yunani kuno yang sedang dipelajari Da Hye sempat saya baca dengan seksama.

Beberapa hari lalu pagi-pagi sekali Da Hye berujar "Hari ini aku akan belajar mengenai 'city-state' di Yunani, tetapi hanya beberapa yang paling kuat saja. Mungkin nanti aku akan menulis perbandingan 2 'city-state' yang menarik. Mama mau baca?" karena pekerjaan sedang menunggu maka saya langsung mengiyakan. Ah...bahagianya, jerit saya dalam hati. Kebetulan sekali saya sedang sangat sibuk dan Da Hye sangat tidak merepotkan.

Hari masih pagi, Da Hye bilang bahwa pelajarannya sudah selesai dan ingin main lompat tali di luar. Sambil stress karena kurang tidur dan memikirkan pekerjaan, dalam hati saya bertanya-tanya 'cepat sekali belajarnya...apa yang sudah dipelajarinya? tadi pagi nadanya begitu serius, seharusnya paling tidak dia sekarang masih berkutat dengan buku-bukunya bukan bermain lompat tali.' Saya pergi melihat hasil tulisannya, di atas meja hanya ada selembar peta yunani (yang telah diprintnya tadi malam) dengan beberapa tambahan keterangan tulisan tangan mengenai 5 'city-state' terkuat di Yunani kuno dan satu lembar kertas yang hampir kosong berjudul "Sparta Vs Athens". Di bawah judul kertas kedua hanya ada sedikit tulisan Da Hye yang tidak rapi berbunyi "Sparta = My father"dan "Athens = My mother".

Ingin sekali rasanya pingsan pagi itu. Sedih sekali melihat ulasan komparatif mengenai topik yang begitu besar hanya berupa 6 kata, benar-benar 6 kata yang tidak 'nyambung'. Saya beranjak menemui Da Hye yang sedang riang memamerkan 'jurus-jurus' baru lompat talinya. Saya berusaha sabar dan bertanya,
"Kamu akan menyelesaikan ini setelah lompat tali? Sudah tidak sabar lompat tali ya, makanya belajarnya buru-buru?"
"Tidak ma, itu sudah selesai." sahutnya santai tanpa merasa bersalah.
"Tetapi di sini hampir tidak ada tulisannya kecuali ini." Kata saya dengan oktaf sedikit lebih tinggi.
" Sulit menjelaskannya kalau mama tidak membaca. Mama harus membaca dulu baru mengerti kenapa aku menulis seperti itu. Pokoknya ceritanya panjang. Tapi nanti malam kalau mama punya waktu aku tidak keberatan cerita alasannya, tetapi sekarang aku lagi seru lompat tali....tambah sedikit lagi ya waktu lompat talinya, plezzzzzzzzz"

Meskipun masih kesal saya kembali mengurus pekerjaan. Dalam hati saya masih tidak terima. Saya bertekad untuk meluangkan waktu membaca mengenai Sparta dan Athens hari itu juga. Malam itu saya membaca mengenai Sparta dan Athens lebih teliti dari biasanya. Tidak lama setelah larut dalam bacaan, entah kenapa saya mulai tersenyum sendiri. Saat itu saya tahu kenapa Da Hye menuliskan apa yang dia tuliskan. Meskipun kesimpulan Da Hye bahwa papanya mirip dengan karakter Sparta dan saya dengan karakter Athens terdengar sangat konyol dan dangkal. Sebenarnya kesimpulan itu tidak akan bisa dia buat kalau dia tidak telah terbenam dalam buku tersebut. Kalau dipikir-pikir, kesimpulan Da Hye yang pendek dan sedikit menyebalkan itu sebenarnya sangat orisinil, dia menarik kesimpulan atas hal yang dia mengerti dengan percaya diri.

Kejadian hari itu membuat saya malu pada saya sendiri, setelah sekian tahun homeschooling, sebenarnya apakah saya benar-benar ingin memenuhi kebutuhan pendidikan Da Hye atau saya hanya mengaharapkan dia untuk memenuhi kebutuhan saya. Kebutuhan saya untuk melihat hasil yang bagus-bagus darinya, hasil yang cemerlang? Malam itu juga saya bergegas menyimpan lembaran hampir kosong tersebut dalam folder portofolio Da Hye supaya tidak terselip dan hilang. Biarlah orang berpikir "Tulisan seperti itu kenapa disimpan? Apa istimewanya? Apa bagusnya?"......tidak apa-apa, hanya saya yang tahu.

Friday, March 07, 2008

Realita 9 : Harga Sebuah Legalitas

Seberapa banyak dari kita yang tahu bagaimana caranya mendirikan
sebuah sekolah dan mendapat status 'legal' dari diknas? Sayang sekali
kisah-kisah menarik yang terjadi di balik layar tertutup tidak pernah
membuat kita penasaran dan bertanya-tanya. tidak perduli, naif atau takut?

Di Tangerang setidaknya, sekolah legal berarti yayasan yang telah
membayar calo sebesar Rp. 2 juta untuk memperoleh ijin dari diknas
setempat. Kita pasti berujar "TIDAK MUNGKIN.....TIDAK
MUNGKIN......pemerintah memiliki peraturan sangat ketat. Pemerintah
meregulasi dunia pendidikan kita dengan ketat. Itu tidak mungkin
terjadi." Tidak hanya itu saja, kontrol yang biasa dilakukan berkala
biasanya hanya bersifat basa-basi, bertumpuk-tumpuk berkas yang
harusnya dipakai untuk mengevaluasi kinerja sekolah bisa 'diborongkan'
seperti yang terjadi di kantor pajak. Seperti apa kinerja guru atau
murid tidak ada yang memperdulikan. Pengusaha mini market bisa
melebarkan bisnisnya dengan mendirikan sekolah. 'BEPnya cepat,
investasi hanya satu kali penghasilan yang didapat seumur hidup'
begitulah logika singkatnya. Tetapi pada akhirnya, praktik-praktik
yang seperti itu tetap menikmati status LEGAL, sekolah LEGAL, ujian
LEGAL, rapor LEGAL, ijasah LEGAL.

Hanya demi sebuah legalitas terkadang karena kendala geografis, banyak
keluarga terpaksa memasukkan anak-anak ke sekolah seperti itu. Masih
perlukan kita merasa takut karena sebuah LEGALITAS?

Realita 8

Tahun ajaran baru masih beberapa bulan ke depan tetapi sekolah-sekolah telah gencar melakukan 'open house' untuk menarik para pelanggan baru. Salah satu teman bermain Da Hye, anak Korea tetangga kami sebut saja HY, mengundang kami untuk menghadiri 'open house' di sekolahnya. Wajahnya begitu memelas memohon-mohon kami untuk datang karena setiap murid ditugaskan untuk membawa tamu di acara tersebut. Demi menyenangkan hatinya dan memberikan pengalaman kepada Da Hye, maka kamipun setuju untuk pergi.

Sekolah HY di bilangan Kebon Jeruk sangatlah besar dan megah. Berbagai fasilitas ada di sana. Meskipun fasilitas yang ada hampir semua rata-rata, perpustakaannya sungguh luar biasa.
"Kamu sungguh beruntung punya perpustakaan sebagus ini" komentar saya kepada HY
"Iya, tapi aku jarang bisa membaca." jawab HY
"Kenapa?" tanya saya penasaran
"Setiap hari aku sibuk, di sekolah tidak ada waktu untuk membaca. Bukunya juga tidak bisa dipinjam tetapi bisa pinjam juga tidak ada gunanya karena setiap hari kami ada tugas macam-macam, tidak ada waktu." sahutnya.

Terkadang meskipun mau dan mampu membayar sangat mahal, tidak semua anak/keluarga beruntung bisa menemukan sekolah yang memberikan kesempatan buat anak-anak untuk membaca. Kalau sebuah kelurga menemukan jalan lain bagi anak-anaknya untuk bisa membaca buku-buku yang memperkaya tanpa harus mengeluarkan berpuluh-puluh juta setiap tahunnya, apakah membayar mahal untuk hanya bisa/sempat membaca teksbook menjadi sebuah keharusan?

Saturday, March 01, 2008

Tip: Budget HS 7

Bisa belajar dengan bahan-bahan belajar yang dipakai sekolah-sekolah unggulan di luar negeri pasti mahal. Pasti harus mengeluarkan uang ratusan juta per tahun dengan jalan masuk ke sekolah internasional. Atau paling tidak mengeluarkan ratusan sampai ribuan dollar per tahun untuk bisa membeli bahan HS siap pakai dari luar negeri. TIDAK LAGI.

Caranya? Beli bahan-bahan belajar yang diinginkan di 'second-hand' market. Beberapa hari yang lalu, 7 literatur sebagai bahan belajar HSer kami di grade 4 sampai tanpa cacat, 1 hari lebih cepat dari yang dijanjikan penjual. Meskipun buku-buku tersebut adalah buku bekas, kondisinya hampir seperti baru. Saya seharusnya mengeluarkan US$480 apabila membelinya dari HS curriculum provider. Tetapi di 'second hand' market, saya hanya mengeluarkan TOTAL US$7.

Ini bukan hanya sekedar tip mengatur anggaran HS, tetapi HS memang benar-benar asyik!