Monday, April 09, 2007

Refleksi Homeschool: Khalil Gibran

Awalnya tertarik dengan Khalil Gibran karena kenyataan bahwa dia tidak pernah pergi ke sekolah sampai umur 12 tahun, yaitu pada waktu ia bermigrasi dari Lebanon ke Amerika Serikat.

Kemudian sampai pada karyanya ‘The Prophet’ (tahun 1923) bab ke 4 tentang ‘Children’, baris demi baris begitu menggigit. Sekian tahun telah menjadi ibu, merasa sudah melakukan segalanya, merasa sudah benar, tetapi sejujurnya hati ini sering lupa.

tulisnya:

Your children are not your children.

They are the sons and daughters of Life's longing for itself.

They come through you but not from you,

And though they are with you, yet they belong not to you.

You may give them your love but not your thoughts.

For they have their own thoughts.

You may house their bodies but not their souls,

For their souls dwell in the house of tomorrow, which you cannot visit, not even in your dreams.

You may strive to be like them, but seek not to make them like you.

For life goes not backward nor tarries with yesterday.

You are the bows from which your children as living arrows are sent forth.

The archer sees the mark upon the path of the infinite, and He bends you with His might that His arrows may go swift and far.

Let your bending in the archer's hand be for gladness;

For even as he loves the arrow that flies, so he loves also the bow that is stable.

Belajar dari Lee Hee Ah

Masih merasa rendah diri bahwa sebagai orang tua kita tidak mungkin bisa mengajar ini dan itu?

Lee Hee Ah baru saja melakukan konser pianonya di Jakarta. Liputannya disiarkan berkali-kali di berbagai media. Lee Hee Ah adalah gadis Korea yang tidak hanya lahir dengan cacat fisik, yaitu berjari empat seperti capit kepiting dan tidak memiliki kaki, sehingga tubuhnya terlihat seperti anak balita. Lebih dari itu, ia juga menderita “down syndrome”, yang kalau bahasa awamnya orang sering menyebut anak penderita ini dengan sebutan ‘idiot’.

Dengan segala keterbatasan ini, seorang ibulah yang bisa membawa hidup Lee Hee Ah kecil menjadi berarti seperti sekarang. Seorang ibu yang tidak memiliki gelar, ‘single mother’, bukan dari keluarga berada. Seorang ibu yang memberi kasih sayang, mendidik, mendampingi, mencarikan jalan, memberikan kepercayaan dan semangat.

Hendaknya kita tidak menjadi rendah diri atau patah semangat hanya misalnya karena kita tidak merasa cukup mampu untuk mengajar kalkulus atau ilmu perbintangan. Seperti ibu Lee Hee Ah kita mungkin tidak memiliki kemampuan di berbagai bidang, tetapi kalau anak-anak kita memiliki minat di situ, kita harus yakin mereka akan bisa belajar dengan kekuatan mereka sendiri dan kekuatan yang di atas tentunya. Jadi, karena jalan masih panjang, semangat terus!

Upeti Guru

Karena kehilangan KTP, saya datang melapor ke kantor polisi terdekat. Waktu itu yang melayani adalah seorang polisi setengah baya yang ramah. Bapak polisi bilang beliau baru belajar komputer sehingga agak lama mengetiknya.

Untuk mengusir kebosanan, saya mengajak beliau berbicara dan dengan semangat bapak polisi tersebut bercerita mengenai tanah kelahirannya, pekerjaannya termasuk keluarganya. Dari situ saya tahu, ternyata istrinya sudah 20 tahun lebih menjadi guru dan sampai sekarang masih aktif mengajar di salah satu SMP Negeri favorit di Tangerang.

“Sekarang guru diperhatikan ya, Pak, bahkan di berita saya dengar gajinya juga meningkat signifikan. Yah sudah sepantasnya begitu ya Pak.” Komentar saya. Tiba-tiba beliau menghela nafas panjang.
“Peraturan sama kenyataan lain Mbak.”
“Kok begitu Pak?” Sahut saya
“Kalau tidak ada uang tidak bisa naik gaji. Harus nyetor kepada yang di atas kalau tidak nyetor ya tidak bisa. Mau memperjuangkan kenaikan gaji sebesar 1 juta sebulan masa harus menyediakan uang 35 juta. Kita dapat uang dari mana? Semua syarat sudah dipenuhi tetap tidak bisa.”

Saya telah sering mendengar kasus seperti ini sebelumnya dan kedengaran seperti isapan jempol saja tetapi mendengar langsung dari mereka yang mengalaminya, nada kesedihan itu benar-benar menusuk hati. Kerongkongan saya tiba-tiba serasa kering, tidak tahu harus berkata apa.

Ngeri sekali membayangkan kalau praktek ini terjadi dari Sabang sampai Merauke. Guru yang masih memiliki hati nurani akan terus tertindas sedangkan yang tidak akan menjadi besar. Kalau guru mendukung praktek upeti, apalagi yang bisa mereka wariskan kepada anak didiknya?