Saturday, June 28, 2008

Homeschool VS Ujian Persamaan

Belakangan ini media semakin rancu mengulas mengenai homeschool. Sangat bisa dimaklumi karena kebanyakan nasa sumber yang dimintai keterangan mengenai homeschool memberikan informasi yang rancu. Salah satu yang menarik adalah mengenai homeschool dan ujian persamaan. Salah satu surat kabar memberitakan jumlah homeschooler di Indonesia pada bulan Mei 2008 adalah 3000 orang, sebuah angka yang fantastis tetapi patut dipertanyakan. Apakah mereka yang homeschool adalah mereka yang mengambil ujian persamaan? Dan apakah mereka yang mengambil ujian persamaan bisa disebut homeschooler? Kalau tidak kenapa istilah homeschool dipakai sedangkan kita tahu mekanisme ujian persamaan itu ada JAUH sebelum istilah homeschool mulai digembar-gemborkan. Tanpa ada istilah homeschoolpun sebagai warga negara kita berhak mengikuti ujian persamaan sesuai dengan peraturan dan prosedur yang berlaku.

Homeschool dipandang sebagai angin segar, disambut dengan eforia. Apakah sekolah sedemikian dibencinya sehingga tidak ada satu mediapun yang berani mengritisi pihak-pihak yang memberikan pemaknaan-pemaknaan ngawur mengenai homeschool dengan tujuan bisnis semata? Apakah para penulis sedang dikejar deadline sehingga tidak sempat lagi melakukan penelitian mengani homeschool? Apakah para penulis dengan berbagai tuntutan dan himpitan hidup sudah tidak memiliki tenanga lagi untuk melakukan investigasi-investigasi di lapangan tentang praktik-praktik 'ajaib' dari homeschooling? Atau, apakah selama ini pemberitaan-pemberitaan mengenai homeschool sebenarnya murni iklan terselubung tanpa niat tulus untuk menggugah semangat keluarga Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka secara mandiri?

Kembali lagi mengenai masalah ujian persamaan, ujian persamaan adalah mekanisme yang disediakan pemerintah (dalam hal ini diknas) untuk memperoleh persamaan status secara hukum (legal) bagi siapa saja yang tidak sekolah sehingga mereka memiliki kedudukan yang sama dengan mereka yang bersekolah. Beribu-ribu PKBM tersebar di seluruh nusantara dan merekalah yang selama ini menangani anak-anak/orang dewasa yang tidak sekolah untuk mendapatkan ujian persamaan selama BERTAHUN-TAHUN, jauh sebelum istilah homeschool bahkan pernah terdengar di bumi Indonesia. Setiap kantor diknas kecamatan memiliki data PKBM yang terdaftar di otoritas wilayahnya masing-masing yang menerima siapa saja yang ingin mengikuti ujian persamaan.

Jadi kenapa sepertinya kita takut bukan kepalang kalau tidak bergabung dengan komunitas atau apapun wujudnya yang mengatasnamakan homeschool padahal sebenarnya pekerjaannya hanyalah penyalur ujian persamaan? Apakah sebenarnya kita hanya perduli dengan ijasah, takut tidak mendapat ijasah kalau-kalau tidak lulus dan berharap ada 'kesaktian' dari lembaga-lembaga tertentu? Kalau 'kesaktian' ujian pasti lulus yang dicari, tidak harus lembaga, banyak pihak yang bisa mengusahakan tetapi kenapa harus menggunakan nama homeschool? Apakah sebenarnya kita sudah pusing dengan urusan anak-anak kita yang dicap gagal di sekolah dan tidak mau tahu yang penting anak kita lulus dan karena malu tidak sekolah sebagai gantinya kita mencari sebuah nama hanya sekedar gengsi? takut dianggap miskin/tidak bonafid? Atau, apakah sebenarnya kita ini buta mengenai pendidikan sama sekali?

Jalur pendidikan formal sudah banyak dirusak oleh mereka yang tidak berpikiran panjang memikirkan peningkatan kualitas generasi penerus bangsa. Sekarang jalur pendidikan non-formal/informalpun sudah mulai dirusak dengan menggunakan pendifinisian homeschool yang sarat bias untuk melegitimasi pendirian bisnis-bisnis yang tidak sehat dan tidak profesional. Seandainya setiap jalur legalitas pendidikan yang ada morat-marit, kacau balau, atau bahkan hancur lebur sekalipun. Keluarga yang benar-benar menjalankan homeschool akan terus berdiri dan terus belajar bersama dalam situasi apapun.

Ines Setiawan

1 Comments:

Blogger Siti Hannah said...

Bu Ines You are a truly inspiring mother about truly homeschooler. Thanks

8:45 PM  

Post a Comment

<< Home