Monday, April 09, 2007

Upeti Guru

Karena kehilangan KTP, saya datang melapor ke kantor polisi terdekat. Waktu itu yang melayani adalah seorang polisi setengah baya yang ramah. Bapak polisi bilang beliau baru belajar komputer sehingga agak lama mengetiknya.

Untuk mengusir kebosanan, saya mengajak beliau berbicara dan dengan semangat bapak polisi tersebut bercerita mengenai tanah kelahirannya, pekerjaannya termasuk keluarganya. Dari situ saya tahu, ternyata istrinya sudah 20 tahun lebih menjadi guru dan sampai sekarang masih aktif mengajar di salah satu SMP Negeri favorit di Tangerang.

“Sekarang guru diperhatikan ya, Pak, bahkan di berita saya dengar gajinya juga meningkat signifikan. Yah sudah sepantasnya begitu ya Pak.” Komentar saya. Tiba-tiba beliau menghela nafas panjang.
“Peraturan sama kenyataan lain Mbak.”
“Kok begitu Pak?” Sahut saya
“Kalau tidak ada uang tidak bisa naik gaji. Harus nyetor kepada yang di atas kalau tidak nyetor ya tidak bisa. Mau memperjuangkan kenaikan gaji sebesar 1 juta sebulan masa harus menyediakan uang 35 juta. Kita dapat uang dari mana? Semua syarat sudah dipenuhi tetap tidak bisa.”

Saya telah sering mendengar kasus seperti ini sebelumnya dan kedengaran seperti isapan jempol saja tetapi mendengar langsung dari mereka yang mengalaminya, nada kesedihan itu benar-benar menusuk hati. Kerongkongan saya tiba-tiba serasa kering, tidak tahu harus berkata apa.

Ngeri sekali membayangkan kalau praktek ini terjadi dari Sabang sampai Merauke. Guru yang masih memiliki hati nurani akan terus tertindas sedangkan yang tidak akan menjadi besar. Kalau guru mendukung praktek upeti, apalagi yang bisa mereka wariskan kepada anak didiknya?

0 Comments:

Post a Comment

<< Home