Monday, August 07, 2006

Mitos Keliru Tentang Homeschool

1. Homeschooler kurang bersosialisasi, tidak realistis terhadap dunia
Bersosialisasi berarti berinteraksi dengan individu individu lain tidak harus dengan mereka yang sebaya saja. Homeschooler berinteraksi dengan siapa saja, baik teman sebaya, mereka yang lebih tua maupun yang jauh lebih muda sekalipun. Mereka diajar untuk bisa menempatkan diri di lingkungan manapun dengan siapapun dan menjalin hubungan/interaksi bukan karena diharuskan atau dipaksakan tetapi karena kesadaran bahwa hubungan antar manusia itu memiliki makna. Apakah sekolah menjamin keberhasilan sosialisasi anak? Jarang sekali ada sekolah yang bisa menyediakan tempat dimana jiwa anak anak bisa tumbuh dengan sehat (sebagai dasar sosialisasi yang baik). Konflik yang tidak diselesaikan dengan baik, kesedihan yang tidak didengarkan, kelebihan dan kekurangan yang tidak diperhatikan. Dan kalau boleh jujur, berapa lama anak anak bisa berinteraksi dengan teman sebayanya karena begitu masuk kelas itu berarti ‘shut up’. We can hardly communicate when we ‘shut up’. Belum lagi sekolah sekolah yang mengeksklusifkan diri sehingga kalangan tertentu saja yang bisa masuk, misalnya yang mampu saja, yang miskin saja atau yang beragama tertentu saja, Inikah sosialisasi? Homeschooler tidak realistis terhadap dunia? Di dunia nyata, kita hidup berinteraksi dengan berbagai macam orang dari berbagai macam usia dan latar belakang. Apakah mungkin kita bersikap ‘aku hanya mau berinteraksi dengan orang orang yang seusia dengan aku dengan latar belakang yang sama’. Who’s being unrealistic? Memang stress atau konflik yang sering terjadi di sekolah tidak selamanya jelek, hal hal negative kadang justru bisa menjadi pelatihan diri yang baik. Tapi melihat mejamurnya sekolah sekolah sebagi profit center sekarang, apakah kita perlu membayar puluhan bahkan ratusan juta supaya anak kita mendapatkan konflik dan stress yang sebenarnya bisa kita dapatkan secara gratis dimana saja. Untuk sosialisasi?

2. Orang tua tidak bisa menjadi guru
Orang tua dianggap tidak bisa menjadi guru, itu karena selama ini kita berpandangan keliru mengenai guru. Bahwa guru itu tahu segalanya dan tidak pernah salah, berdiri di depan murid (anak) dan berceloteh. Murid dianggap pasif sebagai penerima informasi. Dalam homeschool, tugas orangtua yang terutama adalah menanamkan sikap mental learning. You don’t teach the kids calculus or the law of gravity, you teach them how to teach themselves. Guru adalah siapa saja yang memberikan ilmunya. Sewaktu anak bertanya-tanya bagaimana adonan semen untuk bangunan dibuat dan dia mendapatkan jawabannya dari seorang tukang bangunan, maka tukang tersebut adalah guru. Ketika dia berinteraksi dengan peneliti musik etnik di pedalaman afrika dan dia memperoleh suatu pengetahuan baru, maka peneliti itu adalah guru. Dengan kemajuan teknologi seperti sekarang, ahli apa yang tidak bisa kita temui di internet, dari ahli pembuat permen sampai astrobiology bisa kita jangkau dalam hitungan detik. Mereka semua adalah guru guru yang sangat ahli di bidang masing-masing, yang bisa diajak bertukar pikiran dan berdebat sekalipun.

3. Orang tua harus tahu segalanya
Orangtua tidak harus tahu segalanya untuk bisa melakukan homeschool. Belajar dari keberhasilan para orang tua yang sejak beberapa dekade lalu telah melakukan homeschool, bahkan pasangan petanipun bisa menghasilkan anak anak yang diterima di universitas universitas papan atas di fakultas kedokteran, hukum, dll. Apakah orangtua orangtua ini duduk sepanjang hari di depan anak-anaknya dan mengajari mereka ini dan itu? Tidak! Mereka bekerja di ladang, memerah susu dan mengurusi ternak yang lain. Bagaimana itu bisa terjadi? Contoh orang tua di atas tidak tahu segalanya tetapi mereka tahu bagaimana menanamkan nilai dan sikap mental.

4. Orang tua harus meluangkan waktu 8 jam sehari untuk homeschool seperti di sekolah.
Anggapan yang sangat keliru, pertama karena homeschooler dibiasakan untuk mandiri sehingga dominasi orangtua dan pengkebirian otoritas anak dalam pembelajaran sangat tidak diharapkan. Kedua, kalaupun pada saat tertentu atau pada tahapan usia tertentu keterlibatan orangtua sangat didiperlukan, waktunya tidak selama di sekolah. Kenapa? Kebanyakan sekolah tidak efisien, topic yang seharusnya bisa dikuasai dalam beberapa menit harus dipelajari selama berjam jam, bukan karena “in depth learning” tetapi karena terlalu banyak noise, misalnya guru marah, murid ribut, dan gangguan-gangguan lain. Project yang sangat berguna bagi murid kadang tidak bisa terlaksana karena sekolah terlalu birokratis dan kaku. It’s simply a waste of time.

5. Homeschooling tidak cukup belajar karena tidak meluangkan waktu sebanyak waktu belajar di sekolah.
Homeschooler bisa saja meluangkan cuma beberapa menit misalnya untuk mengerjakan beberapa lembar kerja matematika tetapi bisa terlibat asyik dalam penelitian spesies kupu-kupu selama berbulan bulan. Jumlah waktu tidak menjadi tolok ukur pembelajaran apalagi kalau jumlah waktu itu ditetapkan sebagai bentuk pemaksaan.

6. Homeschooler tidak disiplin dan seenaknya sendiri karena terbiasa bebas.
Semangat dari homeschooling adalah melibatkan anak dalam proses pembelajaran mereka dan menghormati talenta dan pilihan mereka dengan catatan, mereka tahu bahwa ada suatu tanggung jawab besar terhadap setiap keputusan mereka. Mereka juga diharapkan menyadari bahwa ada persyaratan tertentu yang harus mereka penuhi untuk mencapai suatu tujuan. Tentu saja homeschooler bebas untuk menentukan apa yang dia ingin pelajari, seberapa dalam dan kapan dan bagaimana dia ingin belajar tetapi bukan berarti homeschooler bebas dalam arti negatif dan destruktif.

7. Homeschooler tidak bisa mendapatkan ijasah
Di negara dengan populasi homeschooler terbesar, Amerika Serikat, mitos ini tentunya sangat mendekati kenyataan di era 70an. Sekarang ijasah bukan menjadi masalah lagi karena banyaknya inovasi di bidang pendidikan. Homeschooler yang tinggal di dalam hutan Kalimantan atau gurun Gobi sekalipun dapat memperoleh diploma berakreditas internasional. Di Indonesia, karena belum ada peraturan khusus yang mengatur tentang keberadaan homeschooler, sebagai warga negara homeschooler berhak memperoleh ujian persamaan yang diadakan oleh depdiknas secara berkala.

8. Homeschooler tidak bisa masuk universitas ternama
Apakah seorang homeschooler bisa masuk sebuah universitas sangat tergantung pada kemampuan masing masing homeschooler serta kebutuhan mereka. (kenapa kebutuhan? Karena apabila homeschooler memutuskan bahwa dia ingin menjadi pemain sepak bola pro tentunya dia tidak perlu mencurahkan waktunya untuk memenuhi prasyarat penerimaan universitas) Secara teknis, tidak ada kendala bagi homeschooler untuk memasuki universitas. Belum ada data pasti di Indonesia mengenai jumlah homeschooler yang pernah atau sedang belajar di universitas-univesitas dalam negeri tetapi di Amerika Serikat, sebagai contoh, homeschooler bisa ditemui di setiap Ivy League Universities.

9. Homeschooler tidak mampu berkompetisi
Dalam homeschooling, kompetisi terberat yang dihadapi seseorang adalah kompetisi melawan diri sendiri. Kompetisi tidak dipandang sebagai usaha menjatuhkan siapa saja tetapi lebih kepada usaha melihat kekuatan dan kelemahan diri sendiri dan orang lain sehingga dengan bekal penerimaan ini anak sadar akan pentingnya sinergi dengan orang lain. Kompetisi bertaraf internasional sebagai ajang menilai kemampuan juga bebas diikuti oleh homeschooler, sebagai contoh kecil, National Geographic Bee, Spelling Bee beberapa tahun berturut turut dimenangkan oleh homeschooler. Iya, anak-anak yang tidak pernah “menginjakkan” kakinya di sekolah.

10. Tidak ada orang orang besar yang homeschooler, sekolah adalah satu satunya jalan
Pernah dengan nama nama: Albert Einstein, Alexander Graham Bell, Pearl Buck, Agatha Christie, Thomas Edison, C.S. Lewis, George Bernard Shaw, Woodrow Wilson, Andrew Wyeth, Galileo Galilei, Gen. George Patton,Abigail Adams,James Madison,Franklin Delano Roosevelt,Cyrus McCormick,Theodore Roosevelt,Hans Christian Andersen,Daniel Webster,Claude Monet,C.S. Lewis, John Stuart Mill, John Quincy Adams,Ben Franklin, Douglas MacArthur,James Monroe,Patrick Henry, Andrew Carnegie,Brett Harte,Wolfgang Mozart,Wilbur & Orville, Wright,Florence Nightingale,Stonewall Jackson,George Washington, Carver,Abraham Lincoln,Blaise Pascal,Mark Twain,Charlie Chaplin,Charles Dickens, Winston, Churchill,Leo Tolstoy,William Penn, George Rogers, Clark,Phyllis Wheatley,Pierre Curie,John, Wesley,Pierre DuPont,Albert Schweitzer. Dari Indonesia: K. H. Agus Salim. Persamaan dari mereka selain mereka orang orang besar yang membuat perubahan besar di dalam sejarah peradaban manusia? Mereka homeschooler.

11. Homeschooler tidak bisa menikmati inovasi dan kemajuan dunia pendidikan
Hampir tidak ada inovasi di dunia pendidikan yang tidak bisa dinikmati oleh homeschooler. Apabila di sebagian besar sekolah, sekolah sekolah elit sekalipun, setiap inovasi pendidikan harus melalui tahapan yang sangat panjang untuk bisa dinikmati siswa, misalnya pembentukan wacana dulu, rapat ini itu, planning, dan kadang tidak terlaksana karena terbentur berbagai masalah, homeschooler dapat melakukan langsung tanpa birokrasi yang berbelit belit. Ambil beberapa contoh, homeschooler bisa membantu para ilmuwan NASA untuk mempelajari batuan di mars atau berinteraksi langsung dengan para astronot bahkan terlibat dalam penamaan space station yang sekarang tengah dibangun. Homeschooler dapat menikmati digital library yang berisi beribu ribu literature dari karya aristoteles sampai mahabarata. Homeschooler yang tidak memiliki alat alat laboratorium di rumah bisa menggunakan virtual lab dengan alat dan berbagai macam bahan kimia. Homeschooler bisa menjelajah berbagai belahan dunia dari puncak tertinggi everest sampai palung terdalam mariana trench di lautan pasifik. Contoh di atas Cuma sebagian kecil saja dari kemungkinana yang tidak terbatas. Dan berapa harga yang harus dibayar untuk itu semua? Tidak lebih dari 10.000 rupiah.

12. Homeschooling mahal Standard mahal atau murah sangat relatif
Yang terpenting adalah apakah materi yang kita korbankan setara dengan kualitas yang kita dapatkan. Kalau biaya homeschool dibandingkan dengan SPP sekolah inpres, jelas homeschool akan dianggap sebagai alternatif pendidikan yang mahal. Tetapi misalnya dengan biaya 20% dari sekolah elite di Jakarta kita bisa mendapatkan kualitas pendidikan yang setara dengan sekolah sekolah terbaik di Jepang, Inggris, Amerika, Jerman, atau negara negara maju lainnya, apakah pengorbanan itu masih dianggap mahal? Pada prakteknya homeschool akan menjadi mahal kalau kita sebagai orangtua malas dan tidak kreatif

13. Homeschooling hanya bisa dilakukan oleh masyarakat dari kalangan tertentu saja
Berjuta juta keluarga yang melakukan homeschooling di seluruh dunia memiliki karakteristik demografi yang beragam. Ada yang tinggal di perkotaan, di dalam hutan atau di kutub sekalipun. Ada yang dari keluarga menengah ke atas atau dari keluarga yang secara financial masih prihatin. Ada keluarga homeschooling yang hanya memiliki satu anak, ada juga yang meng-homeschol 19 orang anak anak mereka sekaligus. Ada yang orangtuanya bekerja sebagai professional atau memiliki usaha sendiri. Ada yang ibunya tinggal di rumah atau memiliki karir. Ada yang orantuanya memiliki gelar Phd tetapi ada juga yang cuma lulusan SMA, dan lain lain. Keluarga keluarga yang melakukan homeschooling sangat beragam sehingga anggapan bahwa homeschooler adalah masyarakat elite baru sangat tidak benar.

14. Homeschooler tidak nasionalis
Homeschooling tidak menyebabkan seorang individu menjadi nasionalis atau tidak. Tumbuhnya nasionalisme sangat tergantung dari apa dan bagaimana rasa nasionalisme tersebut ditanamkan. Sudah menjadi kenyataan dan hendaknya tidak disangkal atau ditutup tutupi lagi bahwa sekolah sekolah kita (di Indonesia) sudah sejak lama gagal menumbuhkan rasa nasionalisme. Homeschooler memiliki kesempatan yang tidak terbatas untuk mempelajari berbagai aspek dari negeri tercinta ini tanpa harus berpikir “nanti kalau tidak hafal dapat nilai berapa ya?”. Homeschooler diajar untuk memengerti dan mencintai negeri ini bukan menghafal dan terus mengumpat. Dan homeschooler bisa lantang berbicara untuk menolak menghafal misalnya bahwa Tembagapura di Irianjaya adalah penghasil tembaga padahal kenyataannya berton-ton emas juga di tambang di sana.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home